Imbas Konflik di Timur Tengah, Rupiah Berpeluang Melemah Dalam Sepekan
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menguat 0,03% ke level 15.546 pada perdagangan Senin (15/1). Dalam peerdagangan akhir pekan, mata uang rupiah ditutup melemah tipis 1 poin.
Sebelumnya, rupiah sempat menguat 5 poin di level 15.550 dari penutupan sebelumnya di level 15.548. Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra menilai rupiah masih berpeluang melemah terhadap dolar AS di awal perdagangan pekan ini.
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah terjadi karena Amerika Serikat (AS) dan Inggris menyerang Houthi di Yemen. Kemudian Turki menyerang kelompok Kurdi di Irak dan Suriah, mendorong pelaku pasar masuk ke aset aman seperti dolar AS dan emas.
“Selain itu, data neraca perdagangan Indonesia bulan Desember yang mungkin memperlihatkan surplus yang semakin menurun, sehingga bisa memberikan sentimen negatif ke rupiah,” ujar Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (15/1).
Di sisi lain, Ariston menilai ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku Bank Sentral AS (The Fed) masih tinggi. Data inflasi produsen AS pada bulan Desember juga menunjukkan penurunan sehingga menjaga harapan pasar terhadap pemangkasan terjadi semester pertama tahun ini.
Dengan begitu, sinyal penurunan suk bunga The Fed akan bisa menahan penguatan dolar AS. Sementara Rupiah tetap berpeluang melemah pada hari ini ke arah 15.600, dengan potensi support di kisaran 15.530.
Inflasi dan Pasar Tenaga Kerja AS Beri Tekanan The Fed
Sementara itu, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi memperkirakan rupiah akan bergerak dalam rentang 15.530-15.590 pada perdagangan hari ini.
Indeks Harga Konsumen (CPI) AS tumbuh sedikit lebih besar dari perkiraan pada bulan Desember, ditambah dengan tanda-tanda ketahanan pasar tenaga kerja baru-baru ini. Hal ini memberikan dorongan yang lebih kecil bagi The Fed untuk mulai memangkas suku bunga lebih awal.
“Namun para pelaku pasar tampaknya telah meningkatkan taruhan mereka bahwa The Fed akan mulai menurunkan suku bunga paling cepat pada bulan Maret, setidaknya menurut alat CME Fedwatch,” ujar Ibrahim dalam risetnya, dikutip Senin (15/1).
Menurutnya, kondisi tersebut menunjukkan bahwa para pedagang memperkirakan peluang sebesar 70,2% untuk pemotongan sebesar 25 basis poin pada tahun 2024, naik dari peluang 64,7% yang terlihat sehari yang lalu.
“Taruhan untuk penurunan suku bunga lebih awal tetap ada bahkan ketika beberapa pejabat Fed menolak ekspektasi tersebut, mengingat inflasi masih tetap tinggi dan jauh di atas target tahunan bank sentral sebesar 2%,” ujarnya.