Akhir-akhir ini kenaikan pajak hiburan sebesar 40%-75% menuai sorotan. Protes pun turut berdatangan dari berbagai kalangan mulai dari penyanyi dangdut Inul Daratista, pengacara kondang Hotman Paris hingga para pengusaha spa.
Kenaikan pajak tersebut tertuang dalam undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Kebijakan ini mulai berlaku sejak diundangkan pada 5 Januari 2022.
Dalam aturan tersebut, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan khusus seperti diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa dikenakan pajak paling rendah 40% dan, paling tinggi 75%. Penetapan pajak tersebut diatur oleh masing-masing pemerintah daerah.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati mengungkapkan alasan pemerintah mengenakan pajak tinggi untuk diskotek hingga kelab malam karena tergolong jasa hiburan khusus. Kegiatan tersebut dinilai tidak termasuk jasa umum, sehingga diberikan perlakuan khusus.
“Untuk jasa hiburan spesial ini, pasti dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Semoga sepakat. Jadi untuk yang jasa tertentu tadi, dikonsumsi masyarakat tertentu, bukan masyarakat kebanyakan,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (16/1).
Pemerintah Atur Batas Bawah Pajak Hiburan
Sebelumnya, pungutan pajak hiburan sudah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. Sehingga, menurut Lidya, PBJT bukan jenis pajak baru.
Yang membedakan, dalam aturan lama, pemerintah tidak menetapkan batas bawah tarif pajak hiburan dan hanya mengenakan batas atas untuk jenis hiburan khusus sebesar 75%.
Selain itu, dalam aturan lama, tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%. Sementara paling tinggi 75% untuk hiburan khusus seperti pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotek, karaoke, kelab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan spa.
Baru kemudian ada perubahan dalam UU HKPD. Dalam aturan tersebut, tarif pajak hiburan yang ditetapkan paling tinggi akhirnya turun, dari 35% menjadi 10%. Ini berlaku untuk jenis hiburan yang sudah diatur dalam UU HKPD, atau di luar hiburan khusus seperti diskotik hingga karaoke.
"Semula [pajak hiburan] 35% tarif tertingginya. [sekarang] pemerintah patok enggak boleh tinggi-tinggi, maksimal 10%," ujar Lydia.
Perumusan Aturan Pajak Melibatkan DPR
Selain itu, alasan pemerintah menetapkan batas bawah tersebut agar pemerintah daerah tidak berlomba-lomba menetapkan tarif pajak yang rendah pada jenis hiburan khusus. "Guna mencegah terjadinya, penetapan tarif yang race to bottom," kata Lidya.
Lidya melanjutkan, bahwa besaran pajak hiburan telah mempertimbangkan masukan dan pembahasan dari berbagai pihak terkait, hingga akhirnya diputuskan bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Hal ini berdasarkan praktik pemungutan di lapangan dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlu mendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara,” kata Lidya.
Tak hanya itu, melalui aturan ini, pemerintah pusat ingin pemerintah daerah semakin mandiri sehingga bisa menciptakan keseimbangkan fiskal. Salah satunya didorong melalui kehadiran UU HKPD ini.
"Agar assignment-nya tidak hanya memberikan [dana] transfer ke daerah, tapi bagaimana mendukung daerah meningkatkan pendapatan mereka, dengan kondisi tertentu yang perlu dilakukan pengendalian,” ujar Lydia.