Ini 7 Daerah dengan Pajak Hiburan Karaoke dan Diskotek Tertinggi di RI
Pemerintah menetapkan pajak 40%-75% untuk beberapa jenis hiburan tertentu sesuai Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
Melalui aturan tersebut, pajak daerah sebesar 40% hingga 75% hanya berlaku untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati mengungkapkan, saat ini terdapat tujuh daerah yang telah menetapkan tarif pajak hiburan hingga 75%.
Daerah yang dimaksud antara lain Kabupaten Siak (Riau), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), Kabupaten Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), serta Kabupaten Belitung Timur (Kepulauan Bangka Belitung).
Kemudian, ada juga Kabupaten Lebak (Banten), Kabupaten Grobokan (Jawa Tengah), serta Kota Tual (Maluku).
Lydia menyebut, tujuh daerah itu telah menetapkan tarif pajak hingga 75%, jauh sebelum aturan baru diterbitkan pada 5 Januari 2022. Namun mereka menggunakan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 Tahun 2009.
“Ini bukan baru ya, [tapi yang] sudah diterapkan dari UU sebelumnya,” ujar Lydia dalam media briefing di Jakarta, Selasa (16/1).
Alasan Pemerintah Tetapkan Pajak Tinggi
Lydia mengungkapkan, alasan pemerintah mengenakan pajak tinggi untuk diskotek hingga kelab malam karena tergolong jasa hiburan khusus. Kegiatan tersebut dinilai tidak termasuk jasa umum, sehingga diberikan perlakuan khusus.
“Untuk jasa hiburan spesial ini, pasti dikonsumsi oleh masyarakat tertentu. Semoga sepakat. Jadi untuk yang jasa tertentu tadi, dikonsumsi masyarakat tertentu, bukan masyarakat kebanyakan,” ujarnya.
Selain itu, alasan pemerintah menetapkan batas bawah tersebut agar pemerintah daerah tidak berlomba-lomba menetapkan tarif pajak yang rendah pada jenis hiburan khusus. "Guna mencegah terjadinya, penetapan tarif yang race to bottom," kata Lidya.
Lidya melanjutkan, bahwa besaran pajak hiburan telah mempertimbangkan masukan dan pembahasan dari berbagai pihak terkait, hingga akhirnya diputuskan bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Hal ini berdasarkan praktik pemungutan di lapangan dan mempertimbangkan pemenuhan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu dan perlu mendapatkan dukungan lebih kuat melalui optimalisasi pendapatan negara,” kata Lidya.
Tak hanya itu, melalui aturan ini, pemerintah pusat ingin pemerintah daerah semakin mandiri sehingga bisa menciptakan keseimbangkan fiskal. Salah satunya didorong melalui kehadiran UU HKPD ini.
"Agar assignment-nya tidak hanya memberikan [dana] transfer ke daerah, tapi bagaimana mendukung daerah meningkatkan pendapatan mereka, dengan kondisi tertentu yang perlu dilakukan pengendalian,” ujar Lydia.