Pertumbuhan ekonomi global melambat dalam satu dekade terakhir dibandingkan periode sebelumnya. Bahkan kondisi pemulihan pasca pandemi Covid-19 juga melanjutkan perlambatan sehingga banyak negara kehilangan momentum pertumbuhan.
Managing Director World Economic Forum Saadia Zahidi mengatakan, rata-rata, pertumbuhan PDB global telah menurun lebih dari 2% pada tahun 2018 untuk negara maju dan hampir 6% di negara berkembang.
"Kemudian pertumbuhan PDB negara berkembang pada awal tahun 2000 an menjadi kurang dari 1,5% dan kurang dari 2% pada periode pasca-Covid-19," kata Saadia dikutip dari laporan World Economic Forum (WEF) bertajuk The Future of Growth Report 2024 pada Kamis (18/1).
Sementara rata-rata tingkat PDB di negara-negara berpendapatan tinggi hanya tumbuh 1,4% dari 2018 sampai 2023. Lalu naik 2,2% di negara-negara berpendapatan menengah ke atas dan naik 3,1% di negara-negara berpendapatan menengah ke bawah, serta naik 3,1% di negara-negara berpendapatan rendah.
"Total PDB global saat ini lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi pada tingkat yang sama, namun tingkat pertumbuhan pada tahun 2023 masih di bawah 4%, untuk semua kelompok pendapatan," kata dia.
Perlambatan Diperburuk Serangkaian Krisis
Saadia menyampaikan, perlambatan pertumbuhan diperburuk dengan serangkaian krisis. Lebih dari 15 tahun sejak awal krisis keuangan global 2007, namun hal ini terus memberikan pengaruh, tidak terkecuali pada pilihan kebijakan dari banyak negara maju.
"Pandemi dan guncangan akibat lockdown telah meninggalkan lonjakan utang dan membalikkan kemajuan pembangunan global," kata dia.
Selain itu, ketegangan dan konflik geopolitik semakin parah, yang membentuk kembali tatanan internasional yang semakin meningkat multipolar, dengan implikasi yang luas untuk teknologi, pertumbuhan dan perkembangan.
Menurut Saadi, masalah geopolitik dan perubahan iklim akan membayangi prospek jangka panjang seperti dari sisi kemanusiaan. Dan dunia saat ini dinilai berada jalur yang tepat untuk memenuhi target perjanjian Paris 2015 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Pertanyaan kunci, apakah dunia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi? Atau bagaimana pertumbuhan itu dicapai dan apakah selaras dengan kepentingan nasional dan prioritas global?," ujarnya.
PDB RI Tumbuh 2,30% dalam 5 Tahun Terakhir
Di tengah perlambatan global, rata-rata PDB per kapita Indonesia tumbuh 2,30% dalam lima tahun terakhir. Dengan nilai PDB per kapita US$ 12.936 pada 2023, Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah atas.
WEF kemudian memasukan Indonesia dalam kelompok G1 bersama Bangladesh, Kolombia, Mesir, Panama dan Turki yang memiliki rata-rata pertumbuhan PDB per kapita sebesar 2,1%.
"Pola dasar kelompok G1 mewakili serangkaian ekonomi negara yang relatif seimbang tetapi di bawah rata-rata global dari sisi kualitas pertumbuhannya," ujarnya.
Meski di bawah rata-rata global, kelompok negara ini memiliki skor yang merata untuk pilar inovatif, inklusifitas, keberlanjutan dan ketahanan. Bahkan hampir setara dengan rata-rata global dalam hal pilar keberlanjutan.
Adapun skor ini untuk melihat kerangka kerja pertumbuhan masa depan di suatu negara. Laporan WEF fokus pada evaluasi kualitas pertumbuhan dan keseimbangan antara berbagai prioritas.
Berdasarkan laporan WEF, skor inovasi, inklusifitas, keberlanjutan dan ketahanan Indonesia untuk periode tahun 2.000 sampai 2.023 tidak sampai 60 dari 100. Terdiri skor inovasi 44.6, inklusivitas 50,4, keberlanjutan 45,1 dan ketahanan 57,9.
"Negara berpendapatan menengah atas, menampilkan penekanan lebih tinggi dari sisi inklusifitas dan ketahanan. Ruang itu untuk meningkatkan keberlanjutan dan inovasi," kata dia.
Sementara jika melihat secara global, skor inovasi global terendah 45,2 dari 100. Inklusifitas global terendah 55,9 dari 100. Lalu skor keberlanjutan dan ketahanan global terendah masing-masing sebesar 46,8 dan 52,8.
Ketahanan Indonesia Lampaui Global
Dengan begitu, skor ketahanan Indonesia lebih tinggi dari rata-rata global. Saadi menyebut, pilar ketahanan menunjukkan bagaimana negara tersebut bisa memperkuat dan mempersiapkan sistem keuangan yang memadai.
"Sebagian besar negara membutuhan persiapan yang lebih baik dan proaktif dalam hal investasi. Salah satunya juga melihat perubahan demografi," kata Saadi.
Sebaliknya, laporan tersebut menyinggung Indonesia bersama kelompok G1 yang kurang mengalokasikan anggaran atau investasi dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Kemudian kurangnya pengembangan inovasi hijau dan energi terbarukan.
Walau begitu, ketersediaan pangan dan komoditas negara ini relatif terdiversifikasi dengan baik, namun konsentrasi produk ekspor masih rendah dan terlalu bergantung dengan pekerja berusia produktif.
Sementara dari segi inovasi, Indonesia bersama kelompok G1 masih jauh dari rata-rata perekonomian global. Salah satunya, dari kurangnya alokasi biaya untuk penelitian dan pengembangan.
Namun jika dibandingkan kelompok negara G2 seperti Argentina, Algeria, Tunisia dan Afrika Selatan, Indonesia disebut memiliki jaringan seluler, infrastruktur transportasi, keamanan siber yang lebih baik. Lalu anggaran teknologi informasi dan kualitas regulasi yang lebih solid.