Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan masih mengkaji rencana untuk menaikkan pajak kendaraan berbahan bakar minyak atau bensin.
Kenaikan pajak ini bertujuan untuk mengurangi polusi udara dan mengerek penjualan kendaraan listrik dalam negeri yang masih sepi peminat. Nantinya, penerimaan pajak tersebut akan dialokasikan untuk subsidi transportasi publik seperti LRT dan kereta cepat.
Menanggapi hal itu, Pengamat Pajak Prianto Budi Saptono menilai kenaikan tarif pajak ini pasti akan menambah beban bagi konsumsi masyarakat, karena setiap kebijakan akan bersifat distortif. Artinya, pajak apa pun dapat memengaruhi perilaku masyarakat.
“Masyarakat tentu akan mempertimbangkan dampak negatif (biaya) dan dampak positifnya (manfaat) ketika akan beralih ke kendaraan listrik atau tetap menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil,” ujar Prianto kepada Katadata.co.id, Jumat (19/1).
Menurut Prianto, masyarakat harus mengeluarkan dana cukup besar untuk membeli kendaraan listrik baru, meski biaya untuk membeli BBM dapat dikurangi.
Sementara, jika masyarakat tetap menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil, mereka tidak perlu menyiapkan dana besar untuk membeli kendaraan listrik baru.
“Akan tetapi, biaya BBM-nya akan meningkat sejalan kenaikan tarif pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor dan alat berat (PBBKB),” ujarnya.
Namun menurut Prianto, opsi menaikkan tarif PBBKB bisa menjadi realistis ketika tujuannya adalah mempercepat peralihan pemakaian kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik.
“Akan tetapi, apakah kebijakan tersebut efektif atau tidak, saat ini tidak bisa dibuktikan karena peraturannya belum ada,” ujarnya.
Pajak dapat Menjadi Instrumen
Sementara itu, pengamat pajak Fajry Akbar, menilai ide penambahan tarif pajak tersebut bagus. Karena, penggunaan kendaraan pribadi perlu dikurangi, dan pengguna kendaraan umum perlu ditingkatkan.
“Mengingat banyak eksternalitas negatif yang dihasilkan dari kendaraan pribadi, dari polusi sampai kemacetan. Pajak dapat menjadi instrumennya,” ujar Fajry.
Tapi, menurut Fajry perlu ada studi atau kajian lebih dahulu. Apakah kenaikan pajak ini benar bisa mengalihkan penggunaan pribadi ke kendaraan umum. Mengingat, tidak semua penduduk punya akses transportasi umum yang baik dari tempat tinggalnya.
“Contoh, beberapa klaster perumahan di daerah penyangga Jakarta tidak punya akses transportasi umum yang baik. Kedua, perlu mengundang stakeholder terlebih dahulu. Bicarakan ke para pelaku usaha, termasuk para penjual mobil bekas yang sebagian besar adalah UMKM,” ujarnya
Dengan begitu, penerimaan dari kenaikan tarif tersebut perlu dialokasikan untuk memperbaiki transportasi umum. Dengan pertimbangan kondisi politik terkini, agar kemudian tidak salah persepsi untuk membiayai hal yang lain seperti pembangunan IKN dan sebagainya. “Sehingga penolakan dari masyarakat juga berkurang,” ujarnya.