Pemerintah menjanjikan insentif berupa PPh Badan DTP (Ditanggung Pemerintah) Badan sebesar 10% bagi pelaku usaha industri jasa hiburan untuk merespons penyesuaian atas batas tarif pajak hiburan tertentu menjadi 40%-75% untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Sehingga besaran tarif pajak PPh Badan akan turun menjadi 12% dari tarif normal sebesar 22%. Namun tawaran insetif tersebut dinilai tidak efektif bagi pelaku usaha karena pajak yang dikenakan tetap tinggi.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani bahkan menyebut insentif pajak tersebut tidak menarik, mengingat tarif pajak hiburan yang ditanggung masih lebih besar.
Ketentuan tarif pajak tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).
"Itu dalam kondisi UU 1 Tahun 2022 sudah menjadi hukum positif [tetap], tentu tidak menarik [insentifnya]," kata Hariyadi di Jakarta, Senin (22/1).
Menurut Hariyadi, insentif berupa potongan PPh Badan dari 22% menjadi 12 % akan menarik, jika tarif pajak penghasilan dapat dikembalikan seperti pada aturan lama dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
"Kecuali nanti [pajak] ini sudah bisa dibatalkan kembali ke posisi yang lama itu baru menarik, kalau sekarang tidak menarik," ujarnya.
Pajak yang Ditanggung Semakin Besar
Pengacara kondang sekaligus pengusaha Hotman Paris mengatakan, dengan adanya batas minimum pajak hiburan tertentu sebesar 40%, maka beban pajak yang ditanggung pengusaha juga menjadi semakin besar.
Dengan begitu, kata Hotman, pelaku usaha berpotensi menanggung sebagian beban pajak hiburan yang dikenakan kepada pelanggan, mengingat besaran kenaikan tarif pajak yang besar. Selain itu, pelaku usaha juga masih perlu membayarkan PPh Badan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang, serta PPh pasal 21 ditanggung perusahaan.
"Kalau dihitung-hitung hampir 100% pajak yang kita bayar," kata Hotman.
Alasan Kemenkeu Naikan Pajak Hiburan
Kementerian Keuangan menyatakan, penerapan UU HKPD justru akan menekan pajak hiburan secara umum. Namun pemerintah juga mengakui telah ada kenaikan pajak hiburan tertentu seperti bar, kelab malam, diskotik, karaoke, dan spa.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu Lydia Kurniawati Christyana mengatakan, hanya pajak hiburan tertentu yang pajaknya naik. Sedangkan pajak untuk 11 jenis hiburan dan kesenian lainnya dikurangi menjadi maksimal 10%.
"Undang-undang ini produk hukum yang dibahas bersama pemerintah dan legislator. Artinya, aturan itu masukan dari berbagai pihak, yang salah satu dari narasumbernya mengusulkan alasan dengan bahasa sosial-religi," kata Lydia.
Selain itu, Lydia menyampaikan alasan kenaikan pajak tersebut untuk mengendalikan konsumsi lima jenis usaha tersebut. Sebab, konsumen kelima jasa hiburan tersebut hanya untuk kelompok masyarakat tertentu. Lydia tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud masyarakat tertentu tersebut.
Namun, ia menekankan kenaikan pajak hiburan ini tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan negara. Sebab, pemangku kepentingan telah memiliki waktu dua tahun selama masa transisi. UU HKPD ditetapkan pada 5 Januari 2022 dan berlaku pada 5 Januari 2024.
"Penetapan terhadap tarif pajak hiburan tertentu yang disebut dalam undang-undang maupun peraturan daerah sudah dibahas di DPRD," katanya.
Pemda Bisa Beri Keringanan Pajak
Lydia menegaskan, bahwa pemerintah daerah harus mulai menarik pajak dengan aturan yang baru. Pada saat yang sama, pemerintah daerah memiliki hak prerogatif untuk memberikan pengurangan, pengecualian, maupun penghapusan pajak hiburan tertentu di daerahnya.
"Jadi, kami kembalikan karena kewenangannya di pemerintah daerah. Monggo bupati dan walikota untuk melihat kondisi sosial di daerahnya dan mana yang layak diberikan insentif fiskal," katanya.