Para pengusaha jasa hiburan bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan untuk membahas terkait insentif pajak hiburan di kantor Kemenko Marves, Jakarta, Jumat (26/1). Turut hadir pula penyanyi Inul Daratista dan pengacara Hotman Paris.
Dalam pertemuan tersebut, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani meminta kepada Kemenko Marves untuk mendorong pemerintah daerah (Pemda) untuk segera memberikan insentif pajak hiburan.
Hariyadi mengaku, saat ini Pemda mulai mengeluarkan tagihan kepada para pengusaha dengan tarif pajak terbaru. Sementara proses judicial review yang diajukan oleh para pengusaha masih dalam proses di Mahkamah Konstitusi (MA).
“Kami mohon ke Pak Luhut sebagai Menko yang membawahi bidang pariwisata, untuk dapat membantu agar kepala daerah dapat menggunakan kewenangannya yang tercantum di pasal 101 UU no 1/2022. Dalam pasal itu daerah berhak untuk mengeluarkan insentif fiskal,” ujar Hariyadi.
Untuk itu, Pemda diharapkan bisa segera memberikan insentif. Apalagi, insentif yang diberikan Pemda dapat berupa pengurangan tarif atau penghapusan denda. Skema pemberian insentif juga dapat diajukan dalam dua skema.
Yakni, melalui permohonan dari perusahaan terkait ke kepala daerah atau kepala daerah bisa punya kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan berdasarkan jabatannya.
Bisnis Berpotensi Turun
Para pengusaha mengkhawatirkan usahanya turun dengan pemberlakukan pajak hiburan sebesar 40%-75%. Dengan usaha yang turun, Hariyadi juga khawatir akan berimbas pada nasib pekerja. Selain itu, berpotensi banyak usaha yang gulung tikar dan muncul bisnis ilegal.
"Ini betul-betul memberatkan industri, karena banyak menampung tenaga kerja di sana. Kalau nanti industri gulung tikar, masyarakat yang rugi dan negara sendiri," ujarnya.
Mengantisipasi hal itu, beberapa pengusaha jasa hiburan mengajukan judicial review ke MK. Mereka mengharapkan pajak hiburan bisa turun, atau sesuai dengan tarif lama pada aturan sebelumnya.
Sebelumnya, pungutan pajak hiburan sudah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah. Sehingga, ini bukan merupakan jenis pajak baru.
Yang membedakan, dalam aturan lama, pemerintah tidak menetapkan batas bawah tarif pajak hiburan dan hanya mengenakan batas atas untuk jenis hiburan khusus sebesar 75%.
Selain itu, dalam aturan lama, tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%. Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan pajak paling tinggi 10%.
Baru kemudian ada penyempurnaan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Dalam aturan tersebut, tarif pajak hiburan yang ditetapkan paling tinggi akhirnya turun, dari 35% menjadi 10%. Tapi khusus pajak diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi/spa dikenakan 40%-75%.