Tertekan Ekonomi Cina, Hong Kong Berpotensi Ulang Krisis 1998

ANTARA FOTO/REUTERS/Tyrone Siu/pras/dj
Tyrone Siu Warga menikmati pemandangan matahari tenggelam diantara gedung pencakar langit saat berlangsungnya sidang uu keamanan nasional, di Hong Kong, China, Senin (29/6/2020).
26/1/2024, 15.49 WIB

Hong Kong berpotensi akan menghadapi krisis keuangan seperti yang terjadi pada 1998 lalu. Hal ini seiring dengan jatuhnya indeks Hang Seng sehingga para bankir dan investor juga menghadapi risiko kemungkinan terburuk.

Pada tahun 1990 an, Cina menjadi pemicu keruntuhan ekonomi Hong Kong. Tak berbeda jauh, saat ini Cina kembali mengalami perlambatan, yang membuat indeks Hang Seng merosot tajam lebih dari 10%, menjadi indeks dengan kinerja terburuk di antara indeks utama global.

Mengantisipasi hal tersebut, otoritas Cina berniat untuk mengguyur 2 triliun yuan atau setara US$ 27 miliar untuk menstabilkan kondisi pasar. Namun kabar rencana itu belum mempan meningkatkan kinerja Hang Seng.

Dilansir dari Bloomberg, Jumat (26/1), indeks pasar saham ini ini hanya mampu naik 2,6% pada Selasa (23/1). Padahal Hong Kong adalah pintu masuk penting bagi Cina. Perusahaan-perusahaan asal Cina daratan bahkan telah menguasai lebih dari 2/3 kapitalisasi pasar bursa.

Meskipun para investor telah menyalahkan analis teknikal seperti kondisi likuiditas emiten, namun mereka lebih khawatir terhadap faktor lain. Sehingga kemungkinan ekuitas yang tercatat di bursa saham secara perlahan akan turun ke posisi nol karena kekhawatiran investor terhadap utang Cina juga masih ada.

Kekhawatiran itu cukup beralasan. Perusahaan multinasional asal Amerika Serikat (AS), BlackRock Inc berencana menjual komplek perkantoran di Shanghai dengan diskon 30% dari harga pembelian pada 2018 lalu.

Sementara itu, pembeli di pasar sekunder untuk aset ekuitas swasta menuntut diskon sebesar 30% hingga 60%. Nilai potongan tersebut dinilai lebih besar dibandingkan di AS dan Eropa.

Dibayangi Utang Cina

Sementara itu, Cina dibayangi utang yang menggunung bersamaan dengan risiko atas krisis sektor properti. Pertama, timbul dari leverage atau penggunaan dana pinjaman dari properti, dan yang lainnya berasal dari pinjaman pemerintah daerah.

Pada November 2023, utang sektor non-keuangan Cina mencapai 294% dari produk domestik bruto (PDB). Nilai ini meningkat signifikan dibandingkan dekade sebelumnya, yang hanya 160% dari PDB.

Apalagi, Cina tidak punya kemauan dan kemampuan untuk membayar. Pada pertengahan Desember 2023 lalu, Beijing menguraikan rencana besarnya untuk tahun 2024, dengan memprioritaskan peningkatan sektor industri dibandingkan meningkatkan konsumsi domestik.

Hal ini merupakan sikap lepas tangan terhadap pasar perumahan yang sedang bermasalah dan menunjukkan tanda-tanda baru penurunan penjualan. Namun pemerintah daerah yang berhutang dapat memperpanjang tempo pembayaran jika beban biaya pinjaman turun. Bahkan di sini, Beijing telah menemui hambatan.

Pemotongan Suku Bunga di Cina

Pemotongan suku bunga Bank Rakyat Tiongkok (PBoC) dalam dua tahun terakhir telah menempatkan bank-banknya di zona bahaya. Pada bulan September, margin bunga bersih (NIM) perbankan mencapai 1,73%, lebih rendah dari tingkat 1,8% yang dianggap perlu oleh pemerintah untuk kesehatan keuangan mereka.

Pada pertengahan Januari, PBOC tidak memangkas suku bunga acuan. Hal ini mengejutkan dan mengecewakan beberapa analis. Mereka seharusnya tidak terkejut. Hal ini merupakan pengakuan diam-diam dari PBOC bahwa mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Industrial & Commercial Bank of China Ltd yang terdaftar di Hong Kong hanya diperdagangkan 0,36 kali lipat. Hal ini mencerminkan skeptisisme mendalam investor terhadap kualitas aset dan prospek pendapatan perusahaan.

Rentan Larinya Aliran Modal Asing

Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, Hong Kong rentan larinya aliran modal asing. Sejak tahun 2009, aliran uang panas mengalir ke Tiongkok, sama seperti yang terjadi pada tahun 1990 an dalam perjalanannya ke Asia Tenggara.

Saat ini, masyarakat mempertanyakan kelayakan kota ini sebagai pusat keuangan, mengingat sentimen yang ada, setelah serah terima kota pada tahun 1997. Bahkan beberapa kebijakan Cina terdengar sangat mirip. Birokrat dilaporkan sedang mempertimbangkan penerbitan obligasi khusus untuk keempat kalinya.

Penerbitan pertama dilakukan pada tahun 1998 ketika Cina mengkapitalisasi bank-bank besar untuk mengimbangi kerugian akibat kredit bermasalah. Ini semua merupakan kondisi yang tidak menyenangkan bagi kota yang percaya pada fengshui dan takdir ini.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari