Pemerintah resmi menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 yang berlaku pada 1 Januari 2024. Tujuan dari terbitnya aturan tersebut untuk menyederhanakan penghitungan PPh Pasal 21 dalam bentuk Tarif Efektif Rata-rata (TER).
Namun terbitnya aturan ini mendapat keluhan dari netizen. Pengguna media sosial X menyoroti terkait besarnya potongan pajak pada akhir tahun, yaitu pada Desember jika penghitungan PPh 21 menggunakan TER.
"Hati-hati mulai gajian Januari merasa income after tax lebih besar. Itu karena ada aturan PP-58/2023, dan siap-siap Desember marah-marah karena tax-nya jadi lebih gede," kata akun X @catuaries, dikutip Katadata.co.id pada Jumat (26/1).
Menanggapi hal itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti memastikan bahwa PPh 21 TER bukan pajak baru sehingga tidak ada tambahan beban pajak baru.
"Selama ini, sudah ada TER, cuma mungkin belum ter update saja, yang selama ini kita gunakan," kata Dwi.
Dia menjelaskan, bahwa aturan ini hanya memberikan gambaran yang lebih jelas untuk kemudahan para wajib pajak dalam melakukan penghitungan PPh 21. Dengan begitu, tidak ada tambahan beban pajak baru yang dikenakan kepada karyawan.
Skema Perhitungan PPh 21 TER
Secara umum, terdapat dua kategori skema penghitungan PPh 21 dengan TER yaitu tarif efektif bulanan berdasarkan besarnya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan wajib pajak pada awal tahun pajak. Kedua, tarif efektif harian yang diterapkan khusus untuk pegawai tidak tetap berdasarkan pada besaran penghasilan bruto harian.
Kemudian rumus penghitungan PPh Pasal 21 secara bulanan dari Januari-November menjadi penghasilan bruto sebulan dikalikan dengan tarif efektif bulanan. Sementara pada Desember atau masa pajak terakhir rumusnya kembali seperti sebelumnya.
Selain itu, faktor lain juga diperhatikan dalam perhitungan atas penghasilan bruto tahunan dikurangi biaya jabatan/pensiun, iuran pensiun, zakat/sumbangan keagamaan wajib, dan pendapatan tidak kena pajak.
Baru kemudian dikurangi dengan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) untuk memperoleh nilai penghasilan yang kena pajak setahun. Lalu dikalikan dengan tarif pasal 17 UU PPh untuk mendapatkan nilai PPh terutang setahun. Kemudian dikurangi total PPh yang telah dipotong dari Januari-November untuk mengetahui nilai PPh 21 yang harus dipotong pada Desember.
Memotong Imbalan Natura
Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman mengatakan, peraturan terbaru ini mewajibkan perusahaan memotong PPh Pasal 21 atas imbalan natura atau kenikmatan.
"Imbalan natura dan imbalan kenikmatan yang diterima pegawai setiap bulannya pun bisa berbeda-beda, bisa naik, bisa turun," kata Raden kepada Katadata.co.id, Jumat (26/1).
Jika menggunakan cara lama, setiap pegawai harus dihitung PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan, dan dihitung ulang atas imbalan natura dan kenikmatan. Maka dari itu, dibentuk Tarif Efektif Rata-Rata (TER).
Dengan perhitungan tersebut, penggunaan TER dapat berdampak pada hasil perhitungan di akhir tahun. Sehingga perusahaan bisa kurang bayar atau lebih bayar. “Kasus lebih bayar ini di perhitungan sebelum TER tidak pernah ada,” ujar Raden.
Menurut Raden, jika pada SPT akhir tahun terdapat lebih bayar, maka akan menjadi permasalahan. Karena alih-alih memotong pajak, perusahaan justru harus mengembalikan pajak ke karyawan. “Padahal pajak yang sudah dipotong tersebut sudah disetorkan ke negara,” ujarnya.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan 168 pasal 21 tertulis, jika perusahaan kelebihan memotong maka perusahaan wajib mengembalikan PPh Pasal 21 di akhir masa. Paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak terakhir.
Beban Akan Bertambah Jika Ditanggung Pegawai
Pengamat perpajakan Prianto Budi Saptono menilai beban PPh Pasal 21 pegawai akan bertambah jika penanggung pajaknya adalah pegawai itu sendiri. Ditambah lagi, ada perluasan objek PPh 21 berupa imbalan nontunai seperti natura dan kenikmatan.
“Pegawai tetap tersebut akan mendapatkan take home pay atau gaji yang lebih kecil karena PPh 21 yang mereka tanggung harus mencakup objek berupa natura dan/kenikmatan,” ujar Prianto.
Prianto menjelaskan, imbalan natura ini berbentuk barang dan ada pengalihan hak dari pemberi ke penerima. Sementara imbalan kenikmatan berupa pemberian fasilitas sehingga tersedia layanan bagi pegawai.
Namun, penentuan imbalan berupa kenikmatan masih memerlukan interpretasi karena ragamnya bervariasi di setiap perusahaan. Prianto menekankan, penanggung PPh 21 tidak selalu pegawai tidak tetap. Namun tergantung pada perjanjian yang dilakukan oleh perusahaan dan pegawai.
“Penanggung PPh 21 tidak selalu freelancer. Ada pegawai tetap yang menanggung pajak di perusahaan-perusahaan. Tergantung pada perjanjian kerja antara pegawai dan perusahaan,” ujar Prianto.