Rupiah berpotensi tembus Rp 16.000 per dolar AS pada tahun ini. Pelemahan nilai tukar rupiah ini akan meningkatkan harga barang dan jasa di pasaran sehingga perlu diantisipasi oleh Bank Indonesia (BI).
Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono menjelaskan, bahwa pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk berbagai sentimen di pasar.
"Bank Indonesia selalu ada di pasar untuk pemantauan semua hal yang dapat memengaruhi nilai tukar, dan apabila diperlukan, kami selalu siap melalui berbagai intrumen yang dimiliki," kata Erwin kepada Katadata.co.id, Senin (29/1).
Namun Erwin tak mau mengungkapkan secara detail terkait instrumen apa yang dikeluarkan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. Dia hanya bilang, BI selalu melakukan intervensi dibutuhkan tanpa mengumumkan ke publik.
Selain itu, bank sentral Indonesia ini juga tidak menargetkan berapa nilai tukar rupiah yang akan dijaga, tapi bagaimana menjaga rupiah tetap stabil. "Bank Indonesia memandang, faktor fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat sebagai dasar bagi rupiah yang stabil," kata dia.
Bergantung Kondisi Politik
Pengamat Komoditas dan Mata Uang, Lukman Leong menilai, rupiah bisa berpotensi tembus Rp 16.000 per dolar AS. Namun itu bergantung pada kondisi politik dalam negeri.
"Hal ini bergantung pada situasi politik di Indonesia sesuai Pemilu 2024. Kemudian juga dipengaruhi intesitas Bank Indonesia dalam mengintervensi pasar," kata Lukman.
Meski demikia, rupiah diperkirakan akan melanjutkan pelemahan karena kekhawatiran investor jelang Pilpres 2024 serta ekspetasi penurunan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed.
BI Akan Stabilkan Rupiah
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan nilai tukar rupiah berada di rentang Rp 15.800-Rp 15.875 dalam jangka pendek. Sehingga, BI akan berupaya menstabilkan rupiah dengan berbagai cara.
"Melalui triple intervention (intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder," ujar Josua.
Seperti diketahui, rupiah ditutup menguat tipis sebesar 0,03% menjadi Rp 15.820 per Dollar AS pada sesi Jumat (26/1). Pendorong utamanya, karena sinyal beragam dari indikator perekonomian AS, yang diikuti meredanya sentimen ketidapastian politik di Indonesia.
Pekan lalu, Rupiah terdepresiasi atau penurunan sebesar 1,30% karena meningkatnya ketidakpastian politik menjelang pemilu 2024 pada Februari 2024. Tren penurunan kinerja rupiah ini juga diikuti obligasi rupiah.
"Obligasi bertenor rendah seperti tenor 5 tahun dan 10 tahun mencatat tren penurunan yield, sedangkan tenor panjang cenderung stagnan," kata Josua.
Volume perdagangan obligasi pemerintah mencatat rata-rata Rp 15,70 triliun pada minggu lalu, lebih rendah dibandingkan volume minggu sebelumnya sebesar Rp 16,97 triliun. Kepemilikan asing pada obligasi rupiah naik Rp 0,15 triliun menjadi Rp 849 triliun atau 14,89% dari total beredar pada 25-Januari 2024.
Pasar dan Ekonomi Global
Indeks Harga PCE atau deflator PCE menyiratkan tekanan inflasi dari komponen-komponen inti mereda lebih cepat dari yang diantisipasi, sehingga meningkatkan kemungkinan penurunan suku bunga agresif oleh The Fed pada tahun ini.
Di tengah perlambatan inflasi, US Personal Spending atau belanja konsumsi warga AS pada Desember 2023 meningkat sebesar 0,7% secara bulanan (mom), lebih tinggi dari periode sebelumnya sebesar 0,4% (mom), mencerminkan permintaan konsumen yang kuat di AS.
Pada akhir sesi hari Jumat (26/1), Dollar Index turun 0,14% menjadi 103,43, namun yield US Treasury (UST) 10 tahun naik 2 bps menjadi 4,14%. Minggu lalu, Dollar Index naik 0,14% wtw karena aksi jual besar-besaran di pasar obligasi global, dan data PDB yang lebih kuat dari perkiraan.
US Dollar Indez merupakan angka indeks yang merefleksikan sekaligus mengukur kekuatan mata yang US dolar terhadap enam mata yang utama dunia lainnya.
"Dolar AS diperdagangkan beragam terhadap mata uang G-10, terutama karena sinyal beragam dari data ekonomi AS. Dolar AS diperdagangkan lebih lemah terhadap Euro dan Franc Swiss, namun menguat terhadap Sterling, Dolar Australia, dan Yen Jepang," kata Josua.