Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tengah mewaspadai perlambatan ekonomi dunia serta ketidakpastian pasar uang. Salah satunya, disebabkan oleh bangkrutnya perusahaan properti Cina, Evergrande.
"Ekonomi Cina cenderung melambat akibat berlanjutnya krisis sektor properti seperti diketahui kemarin, pengadilan Hong Kong menyampaikan perusahaan properti terbesar di Cina, Evergrande mengalami kebangkrutan," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers terkait hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa (30/1).
Selain masalah Evergrande, Cina juga menghadapi masalah utang yang menumpuk di tingkat pemerintah provinsi. Menurut Sri Mulyani, kondisi ini juga menyebabkan ekonomi Cina cenderung melambat.
Di sisi lain, ekonomi Amerika Serikat (AS) masih tumbuh cukup kuat pada tahun 2023, namun meningkatnya tekanan fiskal, khususnya beban pembayaran bunga utang serta rasio utang pemerintah menjadi risiko utama ke depan.
Kemudian tren penurunan inflasi global berlanjut, terutama di AS, sehingga menahan tekanan kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed serta yield US Treasury.
"Hal ini memicu terjadinya capital inflow yaitu arus modal masuk ke emerging market pada tahun 2023, termasuk Indonesia kembali meningkat," kata Sri Mulyani.
Sehingga memasuki tahun 2024, berbagai risiko global perlu dicermati, seperti pelemahan ekonomi di sejumlah negara utama, meningkatnya tensi geopolitik dan fragmentasi global, serta meningkatnya tekanan fiskal di banyak negara.
World Bank dalam Global Economic Prospect Januari 2024 bahkan memprakirakan pertumbuhan ekonomi global melambat dari sebelumnya 3,0% pada tahun 2022 menjadi 2,6% yoy pada 2023 dan kembali turun menjadi 2,4% yoy pada 2024
Evergrande Pastikan Tetap Beroperasi
Pada Senin (29/1) Evergrande mengatakan akan terus beroperasi meskipun pengadilan di Hong Kong memerintahkan perusahaan tersebut untuk dilikuidasi sebagai bagian dari tindakan hukum oleh beberapa kreditor asing.
Hakim Pengadilan Tinggi Linda Chan menyebut, proposal restrukturisasi Evergrande tidak ada kemajuan. Sehingga perintah penutupan dari pengadilan merupakan sesuatu yang tepat.
Dilansir dari Deutche Welle, Selasa (30/1), kebijakan keras Cina terhadap spekulan properti selama dua dekade terakir telah menyebabkan sektor ini terpukul. Imbasnya, Evergrande berhutang US$ 300 miliar atau setara Rp 4.735,11 triliun (kurs Rp 15.783/US$).
Perusahaan juga gagal memenuhi kewajiban utang luar negerinya, dan proposal restrukturisasi utang juga ditolak oleh para kreditor pada bulan lalu. Sehingga aset Evergrande di luar negeri harus dilikuidasi dan manajamen diganti.
Namun belum jelas apakah keputusan tersebut akan memengaruhi kegiatan operasional perusahaan di Cina. Direktur eksekutif Evergrande Shawn Siu menyesalkan keputusan itu, namun berjanji kegiatan operasional akan terus berlanjut.
Kasus ini secara luas dipandang sebagai ujian apakah perintah likuidasi yang dikeluarkan di Hong Kong akan diakui di Cina. Walaupun sejak dua tahun lalu, Beijing mengakui perintah likuidasi dari pengadilan Hong Kong terutama di kota-kota seperti Shenzhen, Shanghai dan Xiamen.
Namun dalam praktiknya, perintah likuidasi sulit dilaksanakan karena sistem hukum Cina yang tidak jelas. Sampai saat ini, pengadilan Cina hanya mengakui keputusan dari pengadilan setempat.