Setelah bertahun-tahun mengalami krisis, raksasa properti Cina, Evergrande, mendapat perintah likuidasi oleh pengadilan Hong Kong, Senin (29/1). Perusahaan properti yang paling banyak berutang di dunia ini gagal meyakinkan hakim bahwa mereka memiliki rencana restrukturisasi yang baik.
"Enough is enough (Cukup sudah)," kata Hakim Linda Chan, mengutip dari The Telegraph.
Keputusan tersebut menghapus seperlima dari harga sahamnya di lantai bursa Hong Kong, sebelum akhirnya dihentikan. Kini nilai perusahaan sekitar US$ 275 juta (sekitar Rp 4,3 triliun) dengan utang sebesar Rp 328 miliar atau Rp 5,2 kuadriliun.
Tiga tahun lalu perusahaan pertama kali mengalami gagal bayar hutang. Kini, pasca keputusan likuidasi, masih tidak jelas pula apa yang terjadi selanjutnya.
Para pelaku pasar melihat akan terjadi pertarungan sengit antara pemodal dari Barat dan pembuat kebijakan di Cina. Pasalnya, meskipun likuidasi Evergrande diputuskan di Hong Kong, namun aset perusahaan tersimpan di Tiongkok daratan.
Evergrande memiliki sekitar seribu proyek di wilayah ini. Perusahaan berbasis di Guangzhou dan memiliki aset senilai $ 240 miliar.
Ini berarti investor Barat yang meminjamkan miliaran dolar ke Evergrande harus menunggu keputusan pengadilan Cina untuk mendapatkan uangnya kembali. Tak hanya para penanam modal ini juga akan beradu dengan investor ritel dan kecil di Negeri Panda.
Secara peringkat, dua investor terakhir tersebut memiliki peringkat lebih rendah dibanding penanam modal luar negeri dalam hal pembagian pembayaran. “Jika ada pilihan yang perlu diambil, saya yakin pemerintah Tiongkok akan melindungi investor ritel dalam negeri dibandingkan investor asing,” kata ekonom senior Natixis di Hong Kong, Gary Ng.
Kepala Ekonom Capital Economics, Duncan Wrigley, memperingatkan para investor akan kesulitan mendapatkan uang mereka kembali. "Ini akan menimbulkan masalah politik dan sosial,” katanya.
Obligasi Kungfu Evergrande
Sebelum krisis properti terjadi di Tiongkok, terjadi Era Keemasan pada sektor tersebut. Evergrande mengumpulkan uang dengan menerbitkan surat pernyataan utang atau IOU dalam bentuk dolar Amerika Serikat, bukan renminbi. Tujuannya adalah menarik investasi asing.
Manajer dana investasi, seperti Ashmore, Amundi, HSB, dan UBS, tertarik dengan surat utang itu. Mereka menyebutnya Obligasi Kungfu. Lalu, berbagai perusahaan serupa masuk hingga puncaknya Evergrande memegang IOU hingga US$ 19 miliar.
Namun, ketika Evergrande gagal membayar utang pada 2021, nilai obligasi langsung amblas, dari 95 sen menjad 20 sen dolar AS. Kini, angkanya tersisa 1,5 sen dolar AS.
Utang tersebut lalu diakusisi, salah satunya oleh Saba Capital Management. Kelompok investor ini dipimpin oleh bank investasi Moelis & Company dan Kirkland.
"Ini adalah tim yang jumlah pengacaranya sama banyaknya dengan manajer portofolionya. Kuncinya adalah mencoba memprediksi bagaimana pengadilan akan memainkannya," ujar salah satu investor obligasi tersebut.
Perkiraan apa yang akan diputuskan pengadilan Cina tentu akan sulit. Apalagi saat ini Preisden Xi Jinping mengubah prioritas program ekonominya. Ia mencoba mengalihkan fokus dari investasi dan properti ke konsumsi dan produksi yang bernilai tinggi.
Business Insider menulis, likuidasi Evergrande terjadi ketika perekonomian Tiongkok menghadapi hambatan signifikan. Mulai dari krisis properti, tekanan deflasi, dan krisis demografi.
Sentimen pasar terhadap perekonomian Tiongkok sangat buruk dalam beberapa. bulan terakhir. Pasar saham negara ini pun anjlok besar-besaran pada pekan lalu karena investor banyak yang melakukan aksi jual.
Di sisi lain, likuidasi Evergrande dapat menjadi aksi paling ekstrem Beijing dalam meredam gelembung di sektor properti. "Ini bagus dalam jangka panjang tapi sangat sulit dalam jangka pendek," kata Direktur Pelaksana Orient Capital Research, Andrew Collier, kepada Reuters.