Pertumbuhan ekonomi era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pernah mencapai rekor tertinggi sebesar 5,31% pada 2022. Namun torehan Jokowi masih kalah dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mencapai 6,3% pada 2007 dan tertinggi 6,5% pada 2011.
Pertumbuhan ekonomi era Jokowi lebih lambat karena tidak lepas dari dampak pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak 2020. Produksi Domestik Bruto (PDB) bahkan sempat anjlok di level 2,1% dan kembali tumbuh 3,69% pada 2021.
Jokowi berhasil membalikkan keadaan karena gencar mendorong program pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan menggelontorkan biaya kesehatan khusus Covid-19 serta bantuan perlindungan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat.
Melalui strategi itu, ekonomi era Jokowi catatkan rekor tertinggi dalam dua periode kepemimpinannya yakni pada 2022. Pada tahun itu, ekonomi bisa tumbuh sampai 5,31%, namun kembali anjlok menjadi 5,05% pada 2023.
Pada era SBY sebetulnya juga melewati guncangan besar akibat krisis keuangan global 2008. Namun saat itu, perekonomian Indonesia tak banyak terpengaruh. Ekonomi hanya melambat dengan pertumbuhan masih di atas 4% pada 2009.
Sumbangan Sektor Manufaktur Menyusut
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menyebut, pertumbuhan lebih lambat di era Jokowi seiring de-industrialisasi yang berjalan semakin cepat. Sumbangan sektor manufaktur ke perekonomian Indonesia terus menyusut dibandingkan era SBY.
"Ini makin kelihatan, sejak makin banyaknya perjanjian dagang yang kemudian menyebabkan bea impor 0%, walhasil industri di lama kelamaan tidak bisa bersaing dengan produk impor," kata Tauhid kepada Katadata.co.id, Kamis (9/2/2023)
Senada dengan Tauhid, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal juga menyebut sumbangan sektor manufaktur di era Jokowi semakin menyusut dibandingkan era SBY. Padahal sektor ini cukup vital bagi perekonomian.
Menurut Faisal, pertumbuhan kuat di sektor manufaktur menjadi kunci dibalik kesuksesan beberapa negara maju di Asia seperti Jepang dan Korea Selatan.
"Namun memang akhir-akhir ini di penghujung masa Presiden Jokowi mendorong adanya hilirisasi, ini sebetulnya salah satu upaya mendorong pertumbuhan sektor manufaktur," kata Faisal.
Ekonomi Era SBY masih Lebih Tinggi
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut, pertumbuhan ekonomi era SBY pernah mencapai rata-rata 5,78%. Sementara era Jokowi rata-rata hanya tumbuh 4,12% sampai 2022.
"Pertumbuhan industri lebih tinggi era SBY dengan porsi manufaktur mencapai 21% dan di era Jokowi terus turun," kata Bhima, Kamis (14/12/2023).
Menurut Bhima, pertumbuhan ekonomi era Jokowi ditopang sektor konstruksi, transportasi, pergudangan dan pertambangan, yang sejalan dengan masifnya pembangunan infrastruktur meski didominasi BUMN dalam pengerjaan infrastruktur.
Hal ini membuat pemerintah menuai kritikan karena minat swasta masuk ke sektor infrastruktur turun. Walau pun begitu, Jokowi andalkan strategi lain. Dia mendorong hilirisasi di saat booming permintaan baterai kendaraan listrik secara global.
"Sayangnya hilirisasi masih berkutat pada eksploitasi sumber daya alam dan memperburuk kerusakan di lingkungan hidup," ujarnya.
Jokowi Fokus pada Ekspor dan Investasi
Jokowi mengaku fokus menggenjot ekspor dan investasi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di masa transisi pergantian kepemimpinannya sekaligus menghadapi tahun politik 2024.
"Kuncinya ekspor dan investasi dijaga agar terus meningkat, ini tidak mudah. Itu jadi dasar pertumbuhan ekonomi," ujar Jokowi usai menghadiri acara BNI Investor Daily Summit, Selasa (24/10/2023).
Menurut dia, basis pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini masih bergantung pada komponen konsumsi, baik pemerintah maupun swasta. Maka itu, dia berharap komponen ekspor dan investasi bisa menopang ekonomi domestik.
Dalam pidato pembukaan acara, Jokowi juga mengaku bersyukur Indonesia masih bisa mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5%, meski di tengah pelemahan ekonomi global.
Ekonomi RI Kembali Melambat di 2023
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 mencapai 5,05% secara kumulatif (ctc) atau lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebesar 5,31%.
Perlambatan itu disebabkan oleh ledakan komoditas atau siklus commodity. Selain itu, BPS juga menyebut perlambatan tersebut disebabkan oleh dampak dasar (base effect) ekonomi.
"Perlambatan ekonomi kita sedikit [lebih rendah] jika dibandingkan tahun lalu dipengaruhi perlambatan ekonomi global dan fenomena el nino,” kata Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Senin (5/2).
Menurut Amalia, fenomen cuaca el nino telah berpengaruh terhadap kinerja lapangan usaha di bidang pertanian yang cenderung melambat, terutama di paruh kedua tahun 2023.
Berdasarkan data yang dihimpun BPS, pertumbuhan ekonomi global pada 2023 cenderung melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia justru membaik seperti di Cina, Amerika Serikat (AS) dan Jepang di kuartal IV 2023.
"Sepanjang 2023, aktivitas bisnis global berada di zona ekspansi. Ekonomi global dan mitra dagang utama tetap tumbuh," kata Amalia.
Di sisi lain, perkembangan harga komoditas unggulan dalam perdagangan Indonesia justru anjlok sepanjang 2023. Komoditas tersebut meliputi minyak kelapa sawit (CPO), batu bara, minyak mentah dan nikel.