Ketidakpastian ekonomi global masih terus berlanjut. Perang yang belum berakhir sampai perlambatan ekonomi telah memukul ekonomi negara-negara di dunia. Bahkan ancaman resesi telah membayangi ekonomi di negara maju pada tahun ini.
Memasuki awal tahun, terdapat tiga negara yang akan masuk jurang resesi karena melemahnya permintaan domestik, sehingga ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) mereka pada 2023 anjlok dan diperkirakan berlanjut pada tahun ini.
Adapun resesi sendiri merupakan penurunan ekonomi secara signifikan yang terjadi di suatu wilayah dan ditandai dengan penurunan PDB selama dua kuartal atau lebih secara berturut-turut.
Berikut 3 negara yang mengalami resesi di awal 2024:
Jepang
Jepang tergelincir ke dalam jurang resesi karena secara tak terduga ekonomi menyusut selama dua kuartal berturut-turut. Hal itu dipicu oleh melemahnya permintaan domestik, sehingga meningkatkan ketidakpastian mengenai rencana bank sentral, Bank of Japan, untuk keluar dari kebijakan ultra-longgarnya pada tahun ini.
Kinerja yang sangat lemah ini membuat Jepang kehilangan predikatnya sebagai negara dengan perekonomian terbesar ke-3 di dunia dan digantikan oleh Jerman.
PDB Jepang anjlok 0,4% yoy pada periode Oktober-Desember 2023. Pada kuartal sebelumnya, ekonomi Jepang bahkan telah merosot 3,3%. Angka PDB kuartal IV 2023 ini jauh di bawah perkiraan median pasar yang memperkirakan kenaikan sebesar 1,4%.
Kontraksi dua kuartal berturut-turut biasanya dianggap sebagai definisi resesi teknis. Data yang lemah ini mungkin menimbulkan keraguan terhadap perkiraan Bank of Japan bahwa kenaikan upah akan mendukung konsumsi, dan membenarkan penghentian stimulus moneter besar-besaran secara bertahap.
Kepala Ekonom Credit Agricole Takuji Aida mengatakan, ada risiko ekonomi akan menyusut lagi pada kuartal Januari-Maret 2024, karena melambatnya pertumbuhan global, lemahnya permintaan domestik dan dampak gempa tahun baru di Jepang bagian barat.
"Bank Sentral Jepang mungkin terpaksa menurunkan tajam perkiraan PDB untuk tahun 2023 dan 2024," kata Takuji dilansir dari Reuters, Jumat (16/2).
Inggris
Tak hanya Jepang, Inggris juga jatuh ke dalam resesi pada paruh kedua 2023. Angka PDB Inggris mengalami kontraksi 0,3% dibandingkan kuartal sebelumnya pada kuartal IV 2023.
Inggris masuk ke dalam resesi teknis setelah pada kuartal sebelumnya juga mengalami kontraksi 0,1%. Kontraksi kuartal keempat lebih dalam daripada perkiraan semua ekonom dalam jajak pendapat Reuters, yang menunjukkan penurunan 0,1%.
Para investor meningkatkan ekspektasi mereka pada kebijakan Bank of England (BoE) yang akan memangkas suku bunga tahun ini. Selain itu, para pelaku bisnis meminta lebih banyak stimulus dari pemerintah dalam rencana anggaran yang akan dirilis pada 6 Maret 2024 memdatang.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak berjanji untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu janji utamanya kepada para pemilih tahun lalu.
Wakil kepala ekonom Inggris Capital Economics Ruth Gregory menyampaikan, bahwa angka PDB memiliki peran signifikansi terhadap kebijakan politik yang lebih besar daripada ekonomi, karena akan menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih anggota parlemen dalam Pemilu nanti.
"Berita bahwa Inggris tergelincir ke dalam resesi teknis pada tahun 2023 akan menjadi pukulan bagi perdana menteri pada hari ketika ia menghadapi prospek kalah dalam dua pemilihan umum sela," kata Gregory seperti dikutip Reuters, Jumat (16/2).
Jerman
Kamar dagang dan industri Jerman (DIHK) pada Kamis (15/2) memperingatkan bahwa ekonomi Jerman akan menyusut sebesar 0,5% pada 2024. Diperkirakan ini merupakan tahun kedua resesi dan penurunan terburuk dalam dua dekade.
Kasus pertama terjadi pada tahun 2002 dan 2003 ketika dua resesi tersebut berturut-turut mendorong pemerintahan untuk memperkenalkan reformasi pasar tenaga kerja dan kesejahteraan yang agresif untuk meningkatkan daya saing Jerman.
Jajak pendapat DIHK terhadap lebih dari 27.000 perusahaan menunjukkan, 35% memperkirakan bisnis akan memburuk dalam 12 bulan ke depan dan hanya 14% yang mengharapkan perbaikan, karena tingginya harga komoditas energi, masalah birokrasi, kekurangan pekerja terampil, dan lemahnya permintaan dalam negeri yang membebani ekonomi.
“Ini adalah sinyal peringatan yang jelas yang harus ditanggapi dengan serius oleh Jerman dan Eropa,” kata Kepala DIHK Martin Wansleben dikutip dari Reutes, Jumat (16/2).
Dia menambahkan, bahwa undang-undang yang mewajibkan perusahaan-perusahaan Jerman untuk memperhatiakn isu-isu hak asasi manusia dan lingkungan dalam rantai pasokan secara global harus ditangguhkan, karena hal tersebut memberikan beban yang berat bagi perusahaan-perusahaan besar.
"Kenaikan tajam suku bunga untuk melawan inflasi setelah invasi Rusia ke Ukraina juga memperlambat ekonomi Jerman," katanya.
Komisi Uni Eropa memperkirakan, Jerman akan menjadi hambatan terbesar bagi pertumbuhan Eropa pada tahun ini dan tahun depan, dengan pertumbuhan hanya sebesar 0,3% pada tahun 2024 dibandingkan perkiraan sebesar 0,8% pada bulan November dan 1,2% pada tahun 2025, setelah resesi sebesar 0,3% pada tahun lalu.
Ekonom di Institut Ifo Clemens Fuest mengatakan, tingginya tingkat ketidakpastian arah kebijakan ekonomi dan iklim di masa depan telah berkontribusi terhadap lemahnya pertumbuhan ekonomi Jerman.
“Masalah utamanya adalah pemerintah federal tidak memiliki strategi pertumbuhan jangka menengah yang meyakinkan,” kata Fuest.