Kriteria Menkeu Pengganti Sri Mulyani di Kabinet Baru, Ini Kata Ekonom

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat kerja Pembicaraan TK.1/ Pembahasan RUU tentang pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN tahun 2021 dengan Banggar DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (1/9/2022). Rapat kerja tersebut beragendakan laporan dan pengesahan hasil Panja-Panja, pendapat mini sebagai sikap akhir fraksi, serta pengambilan keputusan untuk dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II.
21/2/2024, 06.18 WIB

Menteri Keuangan menjadi salah satu posisi yang sangat penting dalam pemerintahan di sebuah negara. Saat ini, posisi Menteri Keuangan dijabat oleh Sri Mulyani Indrawati yang akan habis masa tugasnya di pemerintahan.

Banyak publik bertanya-tanya siapa sosok yang tepat untuk menggantikan Sri Mulyani sebagai Menkeu di kabinet baru. Sederet nama calon Menkeu pun bermunculan baik dari kalangan profesional, pebinis hingga politikus.

Pemilihan Menkeu akan menjadi penentu bagaimana komando pengelolaan keuangan negara ke depan. Termasuk dalam membenahi masalah utang, defisit APBN, pos-pos anggaran yang tidak tepat sasaran hingga perlambatan ekonomi domestik dan global.

Sejumlah ekonom pun mengungkapkan kriteria Menkeu yang cocok menangani pengelolaan keuangan di kabinet baru. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira misalnya, menyebut kriteria Menkeu baru harus punya kemampuan dalam menjaga kepercayaan investor.

"Terutama [investor] pemegang surat utang pemerintah. Sehingga tidak terjadi disiplin fiskal yang diabaikan, hal ini untuk mengakomodir belanja yang sifatnya populis," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Selasa (20/2).

Selain itu, pemerintah dan Menkeu baru juga tidak boleh mengabaikan kondisi fiskal negara dalam menjalankan program-program kampanye. “Disiplin fiskal adalah harga mati yang tidak boleh diabaikan dengan melihat situasi dari kondisi riil fiskal kita,” ujarnya.

Menjaga Konsumsi Rumah Tangga

Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P Sasmita menilai, kriteria Menkeu baru harus fokus menjaga konsumsi rumah tangga. Pasalnya, ekonomi kita bersifat consumption based, maka daya beli masyarakat harus dijaga.

“Bansos hanya sebagian dari upaya menjaga daya beli, yang paling penting adalah stabilitas makro, baik inflasi maupun nilai tukar,” ujar Ronny.

Kedua, efektivitas belanja pemerintah, terutama belanja pembangunan. Belanja pembangunan harus dipastikan benar-benar produktif dan bisa memberikan dorongan multiplier effect terhadap perekonomian. 

"Artinya, kontribusi belanja pembangunan kepada PDB tak hanya berupa input, tapi outputnya juga. Harus ada imbas produktifnya kepada perekonomian,” katanya.

Ketiga, meningkatkan investasi. Incremental Capital Output Ration (ICOR) Indonesia dinilai Ronny masih sangat tinggi karena cost investment juga tinggi, terutama karena pungutan liar, korupsi, pembebasan lahan yang sulit, dan mahalnya biaya energi untuk industri.

“Semua ini harus dibenahi, agar investasi riil mudah masuk,” ujarnya.

Pada tahun 2021, ICOR Indonesia tercatat berada di level 8,16% dan turun menjadi 6,2% pada 2022. Artinya, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi 1% membutuhkan peningkatan investasi infrastruktur sebesar 6,25% pada 2022.

ICOR ini mencerminkan besaran tambahan kapital (investasi) yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Jika semakin kecil angka ICOR, maka semakin efisien biaya investasinya.

Banyak faktor yang membuat nilai ICOR Indonesia masih tinggi, mulai dari faktor sarana infrastruktur yang kurang memadai, ruwetnya birokrasi, ongkos produksi, daya saing pasar tenaga kerja hingga tingginya biaya logistik.

Reporter: Zahwa Madjid