Karyawan tetap yang menerima tunjangan hari raya (THR) harus siap-siap dikenakan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 dengan tarif efektif bulanan. Sehingga potongan pajak yang dikenakan lebih besar dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023, besaran PPh 21 dihitung dengan mengalikan tarif efektif bulanan Peraturan Pemerintah (PP) 58/2023 dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima karyawan tetap dalam satu masa pajak.
"Sesuai dengan ketentuan, penghitungan PPh 21 dengan tarif efektif, jika THR diterima pada bulan tersebut, maka diakumulasi menjadi bruto untuk pemotongan PPh 21 pada bulan bersangkutan, tidak dapat dipindahkan ke bulan lain," tulis akun Twitter (X) Ditjen Pajak Kemenkeu dikutip Kamis (14/3).
Penjelasan Ditjen Pajak tersebut untuk menjawab pertanyaan salah seorang warganet di Twitter pada Jumat (8/3) lalu. Dia menanyakan terkait perhitungan PPh 21 tarif efektif rata-rata (TER) untuk penerimaan THR.
"Untuk tunjangan THR, apakah boleh dihitung di masa akhir pajak (Desember) karena jika dimasukan pada bulan tunjangan [THR] itu dikeluarkan, untuk pajak yang dikenakan bisa dua kali lipat," tanya seorang warganet.
Pengenaan PPh 21 untuk THR cukup beralasan. PMK tersebut menyebutkan bahwa penghasilan yang diterima pegawai tetap baik bersifat teratur maupun tidak teratur masuk dalam obyek pajak PPh 21, berupa pajak penghasilan dari bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur.
Dengan begitu, penghasilan yang diterima pegawai tetap baik bersifat teratur maupun tidak teratur akan dikenakan pajak. Sehingga, perhitungan kedua penghasilan tersebut dijumlahkan kemudian dikenakan pemotongan pajak berdasarkan tarif TER.
Penghitungan PPh 21 untuk THR Karyawan
Jika seorang karyawan menerima penghasilan tidak teratur seperti THR dalam suatu masa pajak, maka penghasilan tersebut digabungkan ke dalam penghasilan bruto. Ini merupakan penghasilan kotor yang diterima karyawan selama satu tahun.
Adapun untuk penentuan PPh 21 terutang, penghasilan bruto karyawan harus dikalikan dengan tarif TER bulanan berdasarkan status penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari karyawan tetap yang menerima penghasilan tersebut.
Misalnya, ada seorang pegawai tetap bernama Budi yang termasuk (TK/0). Budi merupakan seorang laki-laki yang belum menikah dan tidak memiliki tanggungan atau disebut dengan TK/0.
Budi menerima penghasilan bruto dari perusahaan senilai Rp 7,5 juta per bulan pada masa pajak Februari 2024. Dengan penghasilan yang diterima, Budi dikenai PPh 21 dengan tarif efektif bulanan kategori A sebesar 1,25%.
Kemudian, pada masa pajak Maret 2024, Budi menerima THR satu kali gaji sehingga penghasilan bruto yang diterimanya menjadi Rp 15 juta. Sehingga, ada perubahan tarif efektif bulanan kategori A atas penghasilan bruto sebesar Rp 16 juta adalah 6%.
Meski ada penerapan TER dalam perhitungan pajak tersebut, namun penerapan tarif efektif ini tidak menimbulkan beban pajak baru dalam satu tahun untuk seluruh tingkat penghasilan.
Jika terdapat kelebihan potongan PPh 21 pada masa pajak Januari hingga November dibandingkan PPh 21 tertutang dalam setahun, maka kelebihan tersebut harus dikembalikan kepada karyawan terkait. Pengembalian harus dilakukan perusahaan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah masa pajak terakhir.
Untuk memudahkan penghitungan pemotongan PPh Pasal 21, Ditjen Pajak juga menyiapkan dua instrumen untuk mempermudah pemberi kerja. Dua instrumen tersebut adalah alat bantu hitung PPh Pasal 21 (kalkulator pajak) yang dapat diakses melalui situs pajak.go.id mulai pertengahan Januari 2024.
Kemudian ada penerbitan buku pedoman penghitungan pemotongan PPh 21 yang dapat diakses melalui tautan berikut: pajak.go.id/id/sinopsis-ringkas-dan-unduh-buku-cermat-pemotongan-pph-pasal-2126.