Prabowo - Gibran Menang Pilpres, Berderet Tantangan Ekonomi Menanti

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU
Calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto (kiri) dan Gibran Rakabuming Raka (kanan) menyampaikan pidato dalam acara pemantauan hasil hitung cepat atau quick count di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2024).
Penulis: Zahwa Madjid
Editor: Sorta Tobing
22/3/2024, 05.00 WIB

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka sebagai peraih suara terbanyak dalam Pilpres 2024. Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan pelaku usaha tampak merespon positif hasil tersebut. 

"Sebenarnya beberapa hari setelah pemilihan, dunia usaha sudah meyakini Pemilu 2024 berlangsung satu putaran dan pemenanganya pasangan nomor urut 2," katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (21/3). 

Kini investor tidak lagi bersikap wait and see. Mereka melihat paslon terpilih merupakan kelanjutan pemerintahan Presiden Joko Widodo. "Sehingga tidak ada perubahan persepsi dan sikap yang signifikan. Semuanya kembali business as usual," ucap Ronny. 

Namun, keraguan investor masih ada. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut pelaku usaha khawatir dengan program makan siang gratis yang digadang pasangan Prabowo-Gibran

“Disiplin fiskal era Prabowo akan melorot, rasio utang naik, pendapatan pajaknya akan menyasar kelompok menengah,” ujar Bhima.

Untuk mengurangi keraguan investor, pemerintahan baru perlu memberikan rencana fiskal atau postur anggaran yang jelas.  “Kalau sampai disiplin fiskal turun, maka rating utang bisa downgrade dan akan menimbulkan masalah serius,” katanya.

Tantangan Ekonomi di Pemerintahan Prabowo

Bhima mengatakan, sebagai presiden, Prabowo akan menghadapi situasi ekonomi yang menantang. Kondisi geopolitik masih suram yang menyebabkan kinerja ekspor melambat dan devisa turun.

"Ini sudah terlihat dari surplus perdagangan yang makin sedikit," ucapnya. 

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan, surplus neraca perdagangan barang Indonesia mencapai US$876 juta atau US$0,87 miliar pada Februari 2024. Capaian ini memperpanjang maraton surplus sejak empat tahun lalu.

Dalam tiga tahun kepemimpinan Prabowo, Bhima memperkirakan, ekonomi Indonesia tidak akan menikmati keuntungan dari harga komoditas. Harga minyak naik, sedangkan harga batu bara dan sawit belum naik. Kondisi ini menciptakan situasi makin kompleks karena dua komoditas tersebut merupakan unggulan ekspor RI. 

"Suku bunga pun belum pasti kapan turun. Ini berimbas ke aliran pendanaan investasi langsung dan pasar keuangan," kata Bhima. 

Di sisi lain inflasi pangan menjadi ancaman yang cukup serius. Daya beli kelompok menengah ke bawah sangat terdampak. Pemerintah harus bersiap menggeser berbagai anggaran untuk membantu petani dan menjaga daya beli masyarakat.

Apalagi ketika bantuan sosial alias bansos mulai berkurang. "Angka kemiskinan dalam lima tahun ke depan bisa naik," ujarnya. 

Defisit APBN Berpotensi Melebar

Ronny memperkirakan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada pemerintahan Prabowo akan melebar. Artinya, utang pemerintah berpeluang bertambah besar.

Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah mencapai Rp 8.253,09 triliun hingga akhir Januari 2024. Angka ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Dalam pandangannya, kerangka anggaran Prabowo tak akan banyak berbeda dengan era Jokowi, yaitu pro-defisit anggaran. Kebijakan ini membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan.

Tujuannya untuk memberi stimulus pada perekonomian dan sangat baik digunakan jika keadaan ekonomi sedang resesif. “Artinya, Prabowo pun akan menjadikan utang sebagai salah satu sumber pembiayaan kebijakan-kebijakannya,” kata Ronny.

Platform pro-budget deficit tersebut sangat disukai investor asing, terutama yang menanamkan modalnya di surat utang negara. “Dan itu akan baik untuk rupiah, karena akan membawa banyak dolar AS ke dalam negeri dalam bentuk imvestasi portofolia dan finansial,” ujarnya.

Reporter: Zahwa Madjid