Pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dan mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Namun kenaikan pajak tersebut dikhawatirkan bisa menekan daya beli masyarakat hingga memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal.
Pengamat Perpajakan Prianto Budi Saptono memperkirakan kenaikan PPN tersebut akan memberi efek domino mulai dari kenaikan harga yang dibayarkan konsumen dan berkurangnya daya beli masyarakat.
Sebab, PPN atas konsumsi dalam negeri menempatkan pembeli sebagai konsumen akhir. Jika PPN naik, masyarakat sebagai konsumen akhir akan menanggung kenaikan pajak tersebut.
“Produsen juga bisa mengalami penurunan penjualan dan mereka mengurangi produksi. Efek lanjutnya adalah pengurangan tenaga kerja karena produksi menurun," kata Prianto kepada Katadata.co.id, Kamis (28/3).
Ekonomi RI Berpotensi Turun Akibat PPN 12%
Tak berbeda, Peneliti Center of Industry, Trade and Investment INDEF Ahmad Heri Firdaus juga menilai kenaikan tarif pajak tersebut akan memberikan dampak yang besar, tak hanya kepada masyarakat namun juga industri di tanah air.
Akibat kenaikan PPN, daya saing Indonesia bisa menurun dan berimbas pada kinerja perekonomian. Heri bahkan memperkirakan, ekonomi bisa turun sampai 0,17% akibat kenaikan pajak tersebut.
“Ekspor bisa turun secara agregat 1,41%. Kemudian konsumsi rumah tangga akan turun 0,26%, pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi 0,17%. Jadi kalau ekonomi kita secara business as usual tumbuh 5%, gara-gara kenaikan PPN 12%, maka pertumbuhan ekonomi berkurang 0,17%,” ujar Heri.
Dengan mahalnya harga barang, konsumen akan cenderung memilih barang impor yang lebih murah. Artinya, permintaan impor bakal naik sementara ekspor turun.
Tak cukup sampai situ, Heri juga menyoroti potensi penurunan upah tenaga kerja di sektor riil akibat kenaikan harga barang. Hal ini turut mendorong lonjakan inflasi sebesar 0,97%.
"Kalau kita lihat inflasi di level 0,95% pada April 2022, kemudian di periode yang akan datang kalau ini [PPN 12%] berjalan, akan terjadi inflasi sebesar 0,97%,” ujarnya.
Jika harga barang dan jasa naik, maka biaya investasi yang ditanggung produsen bisa meningkat 1,2%. Demi menekan biaya investasi tersebut, produsen akan mengurangi jumlah tenaga kerja. "[Sehingga] penyerapan tenaga kerja secara nasional akan turun 0,94% dan neraca perdagangan menjadi negatif," ujarnya.
Antisipasi Dampak Kenaikan PPN 12%
Pemerintah diminta untuk mewaspadai efek domino akibat kenaikan PPN 12%. Prianto pun meminta pemerintah untuk memastikan daya beli masyarakat tidak turun. Kemudian menjaga iklim usaha agar penyerahan tenaga kerja bisa meningkat.
“Pada gilirannya, pendapatan tenaga kerja bisa meningkat dan daya beli masyarakat juga meningkat,” ujar Prianto.
Sementara Heru menyoroti soal pajak. Dia meminta pemerintah memperluas basis pajak sehingga bisa meningkatan potensi penerimaan pajak dan ekstensifikasi pajak.
Menurut Heru, banyak basis pajak lain yang bisa meningkatkan penerimaan pajak pemerintah. Jadi tidak hanya mengandalkan kenaikan PPN 12%, yang dinilai terlalu mudah didapat.
“Jadi masih banyak cara lain untuk pemerintah meningkatkan penerimaan negara tidak hanya berburu di kebun binatang. Kalau menaikkan PPN sudah jelas, makanya saya sebut berburu di kebun binatang karena pasti dapat,” ujarnya.
Sebagai informasi, kenaikan PPN 12% merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang -undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% dan berlaku pada 1 April 2022 lalu.
Kemudian pemerintah kembali menaikkan PPN menjadi 12% dan paling lambat diberlakukan pada 1 Januari 2025. Dalam pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan yang paling tinggi 15%.