Pengusaha Spa Waswas Pajak Hiburan 40% Bisa Bikin Bisnis Bangkrut

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.
Personel Brimob Polri berjaga di gedung Mahkamah Konstitusi jelang hasil putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) di Jakarta, Selasa (7/11/2023). Menjelang hasil putusan MKMK tentang sengketa dugaan pelanggaran etik terhadap hakim Mahkamah Konstitusi, gedung MK dijaga ketat oleh petugas keamanan untuk mengantisipasi kericuhan.
3/4/2024, 13.30 WIB

Pengusaha spa waswas terhadap penerapan pajak hiburan sebesar 40%-75% bisa membuat bisnis mereka bangkrut. Hal ini mendorong perusahaan spa mengajukan permohonan uji materil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka meminta peninjauan kembali atas Undang-undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Dalam aturan tersebut, bisnis spa dikenakan pajak 40% hingga 75%.

“Kerugian ekonomi berupa pengenaan pajak yang tinggi sebesar 40% dan potensi bangkrutnya usaha spa sebagai pengenaan pajak yang tinggi tersebut,” ujar Kuasa Hukum Pengusaha Mandi Uap dan Spa Mohammad Ahmadi dalam sidang perbaikan permohonan di MK dikutip Rabu (3/4).

Selain itu, pengenaan pajak juga berpotensi menimbulkan tarif pajak berganda. Karena adanya pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekaligus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

Para pengusaha juga menilai masyarakat dirugikan karena usaha spa akan menambah biaya PBJT sebesar 40-75% untuk setiap jasa perawatan kesehatan spa kepada konsumen atau klien. Akibatanya, minat masyarakat terhadap perawatan spa menurun.

“Potensi bangkrutnya usaha spa sebagai akibat pengenaan tarif pajak yang tinggi tersebut, berpotensi menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi pemohon perorangan yang bekerja di bidang usaha spa,” ujarnya.

Tak hanya itu, pengusaha spa dalam petitumnya meminta MK memaknai norma tersebut tanpa mencantumkan frasa  'mandi uap/spa' dalam Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI).

Ahmadi menekankan, bahwa pengusaha spa merasa dirugikan karena usaha spa yang bergerak dalam bidang kesehatan dikategorikan sebagai jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.

“Akibatnya, pengusaha spa harus menanggung tarif PBJT sebesar 40%-75% yang dikenakan pemerintah daerah. Sementara, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10%,” ujarnya.

Dalam UU HKPD, pajak usaha spa disamakan dengan bisnis hiburan lain seperti kelab malam, bar dan diskotek. Sehingga menurut Ahmadi, menimbulkan citra negatif terhadap usaha spa.

"Padahal, selama ini membangun usaha spa sebagai bagian usaha di bidang kesehatan tradisional, warisan budaya bangsa yang kebanyakan adalah UMKM," kata dia.

Memasukan Spa Dalam Usaha Kesehatan

Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno akan merekomendasikan pengecualian spa dari pajak hiburan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Dengan begitu, mengklasifikasikan spa sebagai bagian dari industri kesehatan dan pariwisata kesehatan. Kementerian juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2019 tentang Standar Usaha Spa, yang menyatakan spa bukan bagian dari industri hiburan.

Sandiaga mengingatkan kepada daerah untuk memberikan insentif pajak maksimal sebesar 40% kepada industri hiburan tertentu untuk menjaga tarif pajak rata-rata nasional. Kebijakan ini juga sudah diterapkan oleh beberapa pemerintah daerah seperti di Bali.

Reporter: Zahwa Madjid