Ketegangan geopolitik di Timur Tengah diperkirakan akan memberi dampak besar terhadap perekonomian di tanah air. Sejumlah ekonom bahkan telah mewanti-wanti dampak konflik Israel - Iran akan mulai terasa pada tahun ini.
Sebab, konflik Iran dan Israel berpotensi mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia karena dapat memicu kenaikan harga energi dan inflasi. Hal ini cukup beralasan karena Iran merupakan salah satu produsen minyak terbesar di dunia.
Jika pasokan minyak dari Iran terganggu, maka harga minyak dunia akan melonjak dan berimbas pada pelebaran subsidi energi serta pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Bahkan dampak ekonomi yang akan dirasakan Indonesia sampai pada sektor perdagangan hingga investasi. Maka tak heran, jika konflik ini terus memanas, akan memberi efek bola salju atau meluas ke berbagai sektor.
Katadata pun merangkum tujuh dampak buruk konflik Iran - Israel terhadap ekonomi di Indonesia. Berikut penjelasannya:
1. Harga Minyak Dunia Melonjak
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira memperkirakan konflik Iran - Israel akan memicu lonjakan harga minyak mentah ke level US$ 85,6 per barel atau meningkat 4,4% secara tahunan (yoy).
Sebagai negara penghasil minyak ke-7 terbesar di dunia, produksi dan distribusi minyak Iran bisa terpengaruh. Harga minyak yang melonjak berimbas pada pelebaran subsidi energi hingga pelemahan kurs rupiah lebih dalam.
“Bagi APBN, ada kemungkinan penambahan belanja subsidi energi tahun ini atau dikhawatirkan bbm subsidi akan disesuaikan harga dan kuotanya,” ujar Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (17/4).
Dari sisi penerimaan negara, kata Bhima, belum tentu kenaikan harga minyak menguntungkan APBN karena berbagai harga komoditas lain justru anjlok.
Untuk itu, Ekonom CORE Yusuf Manilet meminta pemerintah melakukan penyesuaian anggaran subsidi dan juga melakukan penyesuaian harga BBM mengikuti harga keekonomian. “Ketika itu terjadi, maka anggaran untuk belanja APBN akan mengalami perubahan,” ujarnya.
2. Investasi Asing Surut
Tak hanya kenaikan harga minyak, Bhima memprediksi aliran investasi asing bisa keluar dari negara berkembang, seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya risiko geopolitik di Timur Tengah.
“Investor juga mencari aset yang aman baik berupa emas dan dolar AS sehingga rupiah bisa saja melemah hingga Rp 17.000 per dolar AS,” ujarnya.
Menurut Yusuf, kondisi ini cukup beralasan, karena investor mencari instrumen investasi yang relatif aman dan minim risiko. Sehingga instrumen keuangan di pasar negara berkembang bisa ikut berdampak.
“Indonesia tentu akan ikut terdampak dari sisi pasar keuangan sehingga secara tidak langsung, akan memberikan dampak terhadap imbal hasil yang akan ditawarkan pemerintah dalam meraup dana dari penerbitan surat utang,” ujarnya.
3. Kinerja Ekspor Melemah
Bhima juga memperkirakna, kinerja ekspor Indonesia ke Timur Tengah, Afrika dan Eropa akan terganggu. Pelemahan ekspor ini tentu berdampak pada banyak hal.
Salah satunya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang terus melemah. “Pertumbuhan ekonomi akan melambat di kisaran 4,6%-4,8% pada tahun ini,” ujarnya.
4. Inflasi Meningkat
Dari sisi inflasi, Yusuf memperkirakan, harga barang dan jasa akan naik karena pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM di dalam negeri. Seperti diketahui, BBM termasuk dalam indikator inflasi.
“Ketika pemerintah melakukan penyesuaian harga untuk merespon perubahan harga minyak imbas dari konflik geopolitik ini, maka inflasi juga mengalami perubahan,” ujarnya.
Senada, Bhima pun menilai konflik ini dapat menimbulkan dorongan lonjakan inflasi karena kenaikan harga energi akan menurunkan daya beli masyarakat.
“Rantai pasok global yang terganggu akibat perang, membuat produsen harus cari bahan baku dari tempat lain, tentu biaya produksi yang naik akan diteruskan ke konsumen,” ujarnya.
5. Suku Bunga Tetap Tinggi
Bhima juga memperkirakan, dampak konflik ini membuat suku bunga tinggi bertahan lebih lama, bahkan berpotensi naik. Akibatnya, bunga kredit yang dikenakan kepada konsumen makin mahal.
“Bagi masyarakat yang mau membeli kendaraan bermotor hingga rumah lewat skema kredit, siap-siap bunganya akan lebih mahal,” ujarnya.
Dengan suku bunga tinggi, menurut Yusuf, perlu ada intervensi untuk memastikan nilai tukar rupiah tidak terjebak depresiasi atau pelemahan lebih dalam lagi.
"Bank Indonesia perlu melakukan intervensi yang sifatnya langsung di pasar keuangan maupun kebijakan suku bunga, untuk menstabilkan nilai tukar rupiah," katanya.
6. Cadangan Devisa Turun
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, pelemahan cadangan devisa akan berlangsung sampai kuartal II 2024 karena masih tingginya ketidakpastian global dan kebutuhan impor dalam mengendalikan inflasi.
"Penurunan cadangan devisa [terjadi] karena masih tingginya ketidakpastian global terutama terkait ekonomi AS dan arah suku bunga The Fed, serta terdapat kebutuhan dividen dan pembayaran kupon ke investor asing (non-resident)," kata Josua dikutip dari Antara, Jumat (19/4).
Selain itu, penurunan cadangan devisa juga berpotensi terjadi karena ada kebutuhan untuk pembayaran pokok utang luar negeri (ULN). Penurunan cadangan devisa bahkan sudah terasa sejak awal tahun.
Bank Indonesia mencatat, cadangan devisa Indonesia turun dari US$ 144,0 miliar pada Februari 2024 menjadi US$ 140,4 miliar pada Maret 2024. Penurunan itu dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah.
7. Terjadi Defisit Fiskal
Ekonom Mari Elka Pangestu mengingatkan pemerintahan era Jokowi dan Prabowo untuk memperhatikan dengan seksama dampak dari konflik Iran - Israel, terutama potensi defisit fiskal yang makin melebar.
Mengingat, konflik kedua negara itu akan berimbas pada pasokan serta harga minyak dunia. Jika harga minyak naik, maka harga barang dan jasa di dalam negeri juga ikut terkerek.
"Harga minyak di luar, terkait dengan kenaikan inflasi dan harga produk, tentu masalahnya kepada anggaran dan fiskal. Defisit anggaran dan fiskal terjadi, kalau harga naik, tentunya subsidi BBM naik, kecuali harga BBM mau dinaikkan," kata Mari dikutip dari Antara, Jumat (19/4).
Jika terjadi inflasi, kata Mari, pemerintahan Prabowo yang resmi dilantik pada Oktober nanti, akan hadapi ketidakpastian fiskal akibat kenaikan harga minyak dan subsidi BBM. "Satu hal yang perlu dilakukan, dengan mengurangi subsidi BBM, ini harus dipertimbangkan,” kata dia.