Kebijakan suku bunga bank Sentral AS, The Fed turut berperan besar dalam pergerakan nilai tukar rupiah. Termasuk pada pelemahan rupiah yang menyentuh Rp 16.179 per dolar AS pada Kamis (18/4).
Ekonom Bank Permata Josua Pardede bahkan memperkirakan, pergerakan rupiah ke depan masih akan didominasi oleh arah suku bunga The Fed, yang akan memangkas suku bunga pada semester II 2024.
Namun data ekonomi AS tetap solid, dengan inflasi tahunan meningkat, klaim pengangguran menurun, dan penjualan ritel menguat. Hal ini mengindikasikan penundaan pemotongan suku bunga The Fed.
"Pasar kini berekspektasi the Fed baru akan mulai memotong suku bunga pada September 2024," kata Josua kepada Katadata.co.id, Kamis (18/4).
Tak berbeda, Ekonom Ibrahim Assuaibi juga menyoroti pengaruh besar The Fed terhadap pergerakan rupiah. Dia melihat, ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga The Fed pada Juni 2024 mulai turun.
Walau ekspektasi mulai menurun, pasar tetap memantau sikap The Fed, termasuk pidato atau pernyataan pejabat bank sentral. Misalnya saja, pernyataan Gubernur The Fed Michelle Bowman pada Rabu (17/4) lalu.
"Bowman mengatakan kemajuan dalam perlambatan inflasi AS mungkin terhenti, dan masih menjadi pertanyaan apakah suku bunga cukup tinggi untuk memastikan inflasi kembali ke target The Fed sebesar 2%," kata Ibrahim.
5 Faktor The Fed Pengaruhi Pergerakan Rupiah
Dengan begitu, segala bentuk gerak-gerak The Fed terus diamati oleh pasar domestik maupun internasional, termasuk Indonesia. Lalu, kenapa Kebijakan The Fed begitu berpengaruh terhadap rupiah?
Kebijakan The Fed memang menjadi acuan bagi bank sentral di berbagai negara. Karena The Fed merupakan bank sentral AS, yang merupakan negara pusat perekonomian dunia dan menjadi acuan investor dunia untuk berinvestasi.
Selain itu, tingkat suku bunga yang ditetapkan The Fed, memiliki dampak signifikan terhadap pasar mata uang global termasuk rupiah. Sehingga wajar, jika keputusan The Fed memengaruhi kondisi pasar baik domestik maupun internasional.
1. Pengaruh Terhadap Investasi
Ketika The Fed menaikkan suku bunga, maka dolar AS menjadi lebih menarik bagi investor global karena mereka bisa memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi dengan berinvestasi pada aset - aset yang menggunakan mata uang dolar AS.
Ini yang menyebabkan aliran modal asing masuk ke pasar AS dan permintaan atas dolar AS meningkat. Sehingga berakibat rupiah melemah terhadap dolar AS.
2. Pengaruh Terhadap Biaya Utang
Selain itu, kenaikan suku bunga The Fed membuat biaya pinjaman atau utang dalam bentuk dolar AS menjadi lebih tinggi. Salah satu dampaknya, utang Indonesia dalam bentuk dolar AS bisa makin bengkak.
Dengan biaya utang yang lebih tinggi, dapat mengurangi aliran kas negara sekaligus membebani APBN. Hal ini akan turut memengaruhi pelemahan nilai tukar rupiah.
3. Pengaruh Terhadap Inflasi
Suku bunga yang lebih tinggi di AS dapat memengaruhi tingkat inflasi global, sebagai akibatnya nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.
Ini terjadi karena perubahan suku bunga dapat memengaruhi harga komoditas, perdagangan internasional hingga permintaan terhadap rupiah.
Jika inflasi naik, maka harga barang dan jasa menjadi lebih mahal, sehingga dapat memengaruhi daya beli masyarakat.
4. Sentimen Terhadap Pasar
Keputusan suku bunga The Fed akan memengaruhi sentimen pasar global. Sebab, kondisi ekonomi AS sering kali dianggap sebagai indikator kesehatan ekonomi global.
Dengan begitu, kenaikan suku bunga The Fed dapat memicu perubahan dalam persepsi risiko dan minat investor global terhadap aset-aset berisiko, termasuk di Indonesia.
Investor lebih memilih investasi ke aset yang aman seperti dolar AS karena memperolah imbal hasil yang lebih tinggi. Ini yang menyebabkan aliran modal asing masuk ke pasar AS dan kondisi ini membuat rupiah melemah.
5. Memicu Kenaikan Suku Bunga di Negara Berkembang
Kenaikan suku bunga The Fed juga dapat memicu kenaikan suku bunga di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini membuat biaya pinjaman dari lembaga keuangan menjadi lebih mahal.
Akibatnya, beban biaya kredit perumahan, kredit konsumtif hingga kredit usaha juga naik. Jika ini terus berlanjut, maka minat masyarakat meminjam di lembaga keuangan juga berkurang.