Sejumlah ekonom mengungkapkan untung rugi jika Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6%. Apalagi, kebijakan ini akan pengaruhi kondisi fiskal dan moneter Indonesia di tengah pelemahan rupiah serta konflik Timur Tengah
Head Of Fixed Income Research PT Sinarmas Sekuritas (SimInvest) Aryo Perbongso mengatakan, pemerintah dan Bank Indonesia menghadapi dilema dalam memilih antara kebijakan pro pertumbuhan dan menstabilkan biaya fiskal untuk mengelola nilai tukar rupiah.
"Mempertahankan BI Rate di tengah tantangan-tantangan ini dapat memberikan sinyal dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi, namun dapat menyebabkan peningkatan biaya fiskal,” kata Aryo dikutip dari Antara, Rabu (24/4).
Dengan nilai tukar saat ini, kemungkinan besar BI Rate masih dapat dipertahankan pada April 2024, mengingat siklus pembayaran dividen yang masih berjalan. "Dengan begitu, Kekhawatiran atas kenaikan BI Rate pada saat ini mungkin tak memberikan efektivitas signifikan," ujarnya.
Skenario yang dinilai memungkinkan bagi BI dan pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah adalah dengan mempertahankan BI Rate dan meningkatkan imbal hasil Surat Utang Negara (SBN).
“Dengan dipertahankannya BI Rate, berarti mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dibandingkan dengan menaikkan suku bunga, meskipun hal ini dapat menyebabkan peningkatan biaya fiskal APBN karena imbal hasil SBN yang lebih tinggi,” ucap Aryo.
Peluang Kenaikan Suku Bunga BI
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga yakin BI masih mempertahankan BI Rate pada level 6%. Namun jika Bank Indonesia menaikkan suku bunga, maka akan memberi dampak positif terhadap sektor keuangan di tanah air.
"Dampak positifnya adalah, tekanan dari faktor eksternal tersebut dapat mereda karena terjadi pelebaran positive spread dengan imbal hasil instrumen keuangan dari negara lain," kata dia.
Positive spread terjadi, jika tingkat bunga pinjaman lebih tinggi daripada tingkat suku bunga tabungan nasabah. Dengan begitu, instrumen keuangan Indonesia cenderung lebih menarik karena ada kompensasi pada kenaikan premi risiko.
Sementara dampak negatifnya adalah beban imbal hasil instrumen keuangan domestik akan meningkat dan menjadi beban bagi penerbit surat utang.
“Selain itu, naiknya BI Rate dapat bertransmisi ke kenaikan suku bunga kredit sehingga meningkatkan biaya pinjaman yang berujung pada tertahannya potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Intervensi BI Belum Sesuai Harapan
BI merespons pelemahan rupiah dengan meningkatkan intervensi moneter melalui strategi triple intervention, yakni intervensi aktif di pasar spot valuta asing, pembelian Surat Berharga Negara (SBN), dan intervensi di pasar domestic non-delivery forward (DNDF).
Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menyatakan, intervensi yang dilakukan BI dalam seminggu terakhir akhirnya mampu menstabilkan nilai tukar rupiah, walaupun hanya pada kisaran Rp 16.200 per dolar AS karena besarnya tekanan eksternal.
Sejauh ini, rupiah terdepresiasi 2,98% secara bulanan (mtm) atau 5,5% year-to-date (ytd) terhadap dolar AS dan sebagai salah satu mata uang dengan performa terburuk dibandingkan negara sejawat (peer country) dan hanya lebih baik dari Lira Brazil dalam satu bulan terakhir.
“Walaupun terdapat ruang untuk kenaikan suku bunga acuan, keputusan menaikkan suku bunga acuan BI, nampaknya bukanlah langkah ideal yang perlu diambil saat ini,” ucapnya.