Rupiah terus bergerak melemah imbas penguatan dolar Amerika Serikat. Pada hari ini, Kamis (25/4), angkanya kembali ke Rp 16.200 per dolar Amerika Serikat.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto mengatakan pelemahan rupiah dapat mempengaruhi bunga utang pemerintah yang telah berjalan atau outstanding loan. “Kami memahami pergerakan pasar, baik pelemahan rupiah maupun kenaikan imbal hasil (yield), akan mempengaruhi belanja bunga,” ujar Suminto kepada wartawan di Jakarta.
Sebagai informasi outstanding utang pemerintah mencapai Rp 8.319 triliun per akhir Februari 2024. Dari jumlah tersebut, Rp 7.336 triliun (88,2%) berupa surat berharga negara (SBN), yaitu surat utang negara (SUN) dan surat berharga syariah negar (SBSN). Sisa utang, yaitu Rp 982 triliun (11,8%), dalam bentuk pinjaman.
Sebagian besar utang pemerintah berasal dari pasar domestik dan global. Sebesar 71,92% utang tersebut dalam mata uang rupiah dan 28,08% dalam mata uang asing.
Dari sisi risiko gejolak mata uang, utang yang mayoritas dalam bentuk rupiah itu masih dapat dikelola dengan baik. Untuk risiko pembiayaan kembali atau refinancing, per Febaruari 2024 watu rata-rata hingga jatuh tempo (ATM) berada di 7,97 tahun sehingga Suminto meyakini angka ini juga cukup terkendali.
Lalu, dari sisi risiko bunga, di luar burden sharing dengan Bank Indonesia, utang pemerintah yang menggunakan suku bunga mengambang (floating rate) hanya 9,7%. "Sehingga portofolio utang pemerintah dapat dikelola terhadap pergerakan suku bunga pasar," ucapnya.
Pemerintah berharap kondisi global akan mebaik. "Tentunya kami berharap pergerakan pasar yang utamanya karena faktor global ini, baik tensi geopolitik maupun arah kebijakan moneter negara maju khususnya Amerika Serikat, bersifat temporer dan tidak terus berlanjut," ujar Suminto.