Kementerian Keuangan mengantongi penerimaan pajak sebesar Rp 393,91 triliun hingga akhir Maret 2024. Angka tersebut sekitar 19,81% dari target anggaran pendapatan belanja negara (APBN) 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penerimaan pajak ini mengalami perlambatan akibat penurunan signifikan harga komoditas pada 2023. Imbasnya baru terasa pada tahun ini. Penerimaan pajak pada periode yang sama tahun lalu tercatat Rp 432,25 triliun.
“Kalau kami lihat, bulan pertama 7,5% terkumpulkan atau Rp 149,25 triliun, Februari 13,53% atau Rp 269,02 triliun, dan kemudian bulan ketiga ini kumulatif Rp 393,91 atau 19,81,%,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (26/4).
Sepanjang 2024, perlambatan penerimaan pajak terutama karena pajak penghasilan atau PPh non-migas dan penurunan PPh migas (minyak dan gas bumi). Berdasarkan data Kementerian Keuangan, untuk PPh non-migas secara bruto tercatat Rp 220,42 triliun atau mencapai 20,73% dari target. Kenaikan ini hanya 0,10% secara tahunan.
Koreksi terdalam terjadi pada PPh migas, yang tercatat sebesar Rp 14,53 triliun. Penurunannya terjadi karena lonjakan harga minyak global dan pelemahan nilai tukar rupiah. "Untuk kuartal pertama mengalami koreksi cukup dalam, yaitu 18%. tapi totalnya sudah 19,02% dari target APBN,” ujarnya.
Untuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) telah terkumpul Rp 155,79 triliun sejak Januari hingga Maret 2024 atau sekitar 19,20% dari target. Angkanya naik 2,57% secara tahunan.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) serta pajak lainnya tercatat Rp 3,17 triliun atau 8,39% dari target dan secara bruto meningkat 11,05% secara tahunan.
APBN tercatat surplus Rp 8,1 triliun atau sekitar 0,04% dari produk domestik bruto hingga akhir Maret 2024. Secara rinci, keseimbangan primer APBN masih surplus Rp 122,1 triliun. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan Maret 2023 yang surplusnya mencapai Rp 228,8 triliun.