Naik Jadi 12% di 2025, Tarif PPN RI Berpotensi Jadi Tertinggi di ASEAN

ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/wpa.
Sejumlah warga mengunjungi pusat perbelanjaan Bintaro Jaya Xchange, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (29/3/2024). Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mendorong pemerintah agar membatalkan rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen karena dinilai berdampak pada kenaikan harga produk industri retail dan akan menurunkan daya beli masyarakat.
Penulis: Zahwa Madjid
Editor: Sorta Tobing
13/5/2024, 16.55 WIB

Pemerintah memastikan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. Aturan ini mulai berlaku selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan penerapan tarif baru tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara. Selain itu, kenaikan PPN juga untuk mengendalikan rasio utang pemerintah. 

"Tentu targetnya kenaikan pendapatan dari perpajakan. Rasio utang aman," kata Airlangga di Kolase Kanisius, Jakarta Pusat pada Sabtu (11/5).

Angka 12% akan menempatkan Indonesia menjadi negara dengan PPN atau value-added tax (VAT) tertinggi di Asia Tenggara. Melansir data PricewaterhouseCoopers (PwC), Indonesia masuk jajaran negara dengan pajak pertambahan nilai tertinggi di kelompok ASEAN periode 2023 hingga 2024.

Berdasarkan data hingga 22 Februari 2024, Filipina masih menjadi negara ASEAN dengan tarif pajak tertinggi yakni 12%.

Sebelumnya, tarif PPN di Indonesia naik dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022. Kenaikkan tarif ini dilakukan berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang diteken pada Oktober 2021.

Negara ini mulai menerapkan PPN sebesar 10% pada 1983. Aturannya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah atau lebih dikenal dengan UU PPN.

Kenaikan PPN Tekan Daya Beli

Pengamat Perpajakan Prianto Budi Saptono sebelumnya mengatakan kenaikan PPN akan memberi efek domino. Mulai dari kenaikan harga yang dibayarkan konsumen dan berkurangnya daya beli masyarakat. Sebab, PPN atas konsumsi dalam negeri menempatkan pembeli sebagai konsumen akhir.

Jika PPN naik, maka masyarakat sebagai konsumen akhir akan menanggung kenaikan pajak tersebut. “Produsen juga bisa mengalami penurunan penjualan dan mereka mengurangi produksi. Efek lanjutnya adalah pengurangan tenaga kerja karena produksi menurun," kata Prianto. 

Peneliti Center of Industry, Trade and Investment INDEF Ahmad Heri Firdaus juga menyebut kenaikan tarif pajak tersebut akan menyebabkan daya saing Indonesia menurun dan berimbas pada kinerja perekonomian.

Heri bahkan memperkirakan, ekonomi bisa turun sampai 0,17% akibat kenaikan pajak tersebut. Ekspor bisa turun secara agregat 1,41%. Kemudian konsumsi rumah tangga akan turun 0,26%, pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi 0,17%. "Jadi kalau ekonomi kita secara business as usual tumbuh 5%, gara-gara kenaikan PPN 12%, maka pertumbuhan ekonomi berkurang 0,17%,” ujar Heri.

Tak cukup sampai situ, Heri juga menyoroti potensi penurunan upah tenaga kerja di sektor riil akibat kenaikan harga barang. Hal ini turut mendorong lonjakan inflasi sebesar 0,97%. "Kalau kita lihat inflasi di level 0,95% pada April 2022, kemudian di periode yang akan datang kalau ini (PPN 12%) berjalan, akan terjadi inflasi sebesar 0,97%,” ujarnya.

 

Reporter: Zahwa Madjid