Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan akhir-akhir ini menjadi sorotan masyarakat karena sejumlah kasus yang viral di media sosial mulai dari kasus sepatu impor, alat pembelajar untuk sekolah luar biasa (SLB) hingga peti jenazah yang kena bea masuk tinggi.

Oleh karena itu, instansi ini diminta untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh mulai dari pelayanan, cara komunikasi dengan masyarakat hingga mengkaji ulang ketentuan sanksi administrasi barang impor yang dinilai terlalu tinggi. 

Pengamat Perpajakan Fajry Akbar menilai ketidakpercayaan masyarakat menjadi masalah utama instansi tersebut. Titik awal ketidakpercayaan masyarakat terhadap adalah saat beberapa mantan pegawai Bea Cukai yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Ketidakpercayaan ini mirip dengan kasus Gayus Tambunan yang dialami oleh otoritas pajak pada 14 tahun yang lalu. Sehingga butuh waktu yang lama untuk memulihkannya,” ujar Fajry kepada Katadata.co.id, Selasa (14/5).

Sementara untuk kasus yang terbaru, terkait besaran sanksi barang impor yang dinilai terlalu tinggi. Sehingga, banyak masyarakat yang mengeluhkan besaran Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang dinilai terlalu tinggi dibandingkan harga barang itu sendiri.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita justru menyoroti masalah asimetri informasi. Artinya, banyak aturan-aturan yang dimiliki oleh Bea Cukai yang tidak diketahui oleh masyarakat.

Maka dari itu, ketika terdapat masalah antara kepabeanan dengan masyarakat, seakan-akan peraturan yang diberikan mengada-ada. Jika masyarakat mengetahui ketentuan dan besaran bea masuk, mungkin masalahnya tidak akan sebesar ini.

“Jadi sosialisasi dari Bea Cukai tentang aturan pengenaan pajak tampaknya sangat terbatas dan tak banyak diketahui publik,” ujar Ronny.

Selain itu, ia menilai tingkat pelayanan Bea Cukai juga belum optimal. Hal ini tercermin dari berbagai masalah yang diterima Bea Cukai setiap hari, namun instansi ini belum bisa menanganinya secara baik. Sehingga Bea Cukai sering menerima komplain dari masyarakat.

“Jadi perpaduan antara tingkat sosialisasi yang rendah dengan pelayanan yang kurang optimal menjadi akar masalah dari komplain-komplain yang banyak muncul belakangan,” ujarnya.

Bea Cukai Harus Berbenah

kendati komunikasi dengan masyarakat menjadi masalah utama, tapi Bea Cukai juga harus berbenah. Menurut Fadjry, membangun kepercayaan publik harus melalui perbaikan pelayanan dan lainnya.

“Salah satunya, para petugas di lapangan perlu memberikan informasi yang lengkap mengetahui ketentuan yang berlaku. Perlu proaktif dalam memberikan informasi terkait persyaratan,” ujar Fajry.

Bea Cukai juga perlu melakukan evaluasi kebijakan, terutama terkait persyaratan. Salah satu kasus yang ramai terkait persyaratan fasilitas dan larangan terbatas (Lartas). Sehingga perlu juga dilakukan benchmarking best practice.

Selain itu, perlu juga evaluasi besaran bea masuk dan sanksi. Karena masalah belakangan ini terkait dengan besaran sanksi yang ditanggung masyarakat tapi tidak sebanding dengan nilai impor. Sehingga perlu mengubah paradigma bahwa sanksi yang besar akan membuat orang patuh.

“Perlu mengevaluasi tarif terutama besaran tarif PPh 22 Impor yang naik drastis dalam satu dekade terakhir serta tarif bea masuk atas beberapa produk yang naik dalam beberapa waktu terakhir,” ujarnya.

Reporter: Zahwa Madjid