Bank DBS menganggap target rasio utang pemerintah dalam dokumen rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) di kisaran 39,77% hingga 40,12% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025 masih berada di level moderat.
Angka rasio utang ini meningkat dibandingkan dengan target 2024 sebesar 38,26% dari PDB dan dan lebih tinggi dari realisasi tahun lalu yang sebesar 38,98% dari PDB. Namun DBS mengatakan kondisi tersebut tidak menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor obligasi global.
Kepala Ekonom Bank DBS Taimur Baig, mengatakan rentang rasio utang Indonesia tahun depan relatif rendah ketimbang kondisi sejumlah negara besar di dunia saat ini yang tengah membicarakan besaran rasio utang terhadap PDB hingga 100%.
"Dari sudut pandang internasional, utang Indonesia atau defisit Indonesia tidaklah tinggi menurut standar apa pun. Hal itu bukan sesuatu yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor obligasi global," kata Taimur dalam media briefing di Hotel Mulia Jakarta pada Selasa (21/5).
Jepang merupakan negara anggota G20 yang memiliki rasio utang terhadap PDB tertinggi. Berdasarkan data Trading Economics, rasio utang terhadap PDB Jepang mencapai 266% dari total PDB negara tersebut pada 2020.
Anggota G20 yang memiliki rasio utang tertinggi berikutnya adalah Italia, yakni sebesar 151% dari PDB pada 2021. Diikuti Amerika Serikat (AS) dengan rasio utang sebesar 137% dari PDB, Kanada dan Prancis masing-masing sebesar 113% dari PDB.
Rasio utang pemerintah, terutama rasio utang terhadap PDB menjadi salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh kalangan investor obligasi global dalam pengambilan keputusan investasi. Rasio utang yang tinggi cenderung menunjukkan risiko yang lebih tinggi bagi pemerintah untuk mengembalikan pinjaman mereka.
Taimur mengatakan, investor global pastinya memiliki sejumlah perhitungan sebelum mengambil keputusan investasi terhadap surat utang pemerintah. Investor obligasi global cenderung mengukur risiko investasi mereka dengan memperhatikan rasio utang suatu negara.
"Investor global tentu saja melihat banyak hal seperti suku bunga mana yang paling aman dan mata uang mana yang paling stabil. Berdasarkan itu mereka membuat keputusan investasi," ujar Taimur.