Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, program makan bergizi menjadi salah satu program yang penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025.
Hal ini untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 dibutuhkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6%-8%. Menurut Sri Mulyani, target tersebut dapat diwujudkan dengan memprioritaskan investasi pada sumber daya manusia (SDM) guna memacu produktivitas masyarakat.
“Dengan demikian, program perbaikan SDM melalui program makanan bergizi dan perbaikan reformasi kesehatan, perbaikan kualitas pendidikan serta penyempurnaan jaring pengaman sosial menjadi sangat penting dalam meningkatkan produktivitas SDM Indonesia,” kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan V 2023-2024 di Jakarta, Selasa.
Dalam pengembangan SDM, Indonesia juga perlu belajar dari negara lain seperti Korea Selatan dan Taiwan yang secara konsisten berinvestasi pada kualitas SDM. Hal ini mampu meningkatkan produktivitas sehingga dapat terlepas dari jebakan negara berpendapatan menengah (Middle-Income Trap/MIT).
"Diperlukan produktivitas tinggi yang konsisten dalam 15 tahun menuju negara maju investasi dan peran sektor manufaktur di Korea Selatan tumbuh di atas 10% setiap tahun, Demikian juga dengan pengalaman Taiwan untuk menjadi negara maju investasi bahkan tumbuh 20% dan sektor manufaktur tumbuh di atas 8%," kata dia.
Sri Mulyani juga menyampaikan bahwa pemerintah harus tetap mendorong perbaikan iklim investasi untuk meningkatkan peran investasi dan pertumbuhan manufaktur yang menjadi sektor kunci bagi perjalanan menuju Indonesia emas 2045.
"Untuk mencapai pertumbuhan lebih tinggi, kontribusi produktivitas harus ditingkatkan melalui investasi SDM dan transformasi ekonomi agar menciptakan nilai tambah yang semakin tinggi di dalam perekonomian nasional," ujarnya.
Selain itu, inflasi juga menjadi salah satu kunci untuk menjaga tren pertumbuhan sesuai target yang ditetapkan. Inflasi akan dijaga pada level 1,5%–3,5% di tengah level inflasi global yang belum kembali ke periode prapandemi.
Oleh karena itu, inflasi akan terus dikendalikan melalui kolaborasi kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga biaya bagi ekonomi pada level yang wajar termasuk mengantisipasi risiko imported inflation melalui koordinasi pemerintah dan bank sentral karena geopolitik global masih sangat dinamis.
Hal ini dibarengi peningkatan kesejahteraan dan pemerataan antardaerah perlu ditopang APBN yang efisien, sehat, dan kredibel. Reformasi fiskal yang selama ini sudah berjalan juga harus dilanjutkan dan diperkuat efektivitasnya melalui collecting more, spending better, prudent and innovative financing.
Menurut Sri Mulyani, kondisi ini terefleksi pada optimalisasi pendapatan negara yang mencapai 12,14% sampai dengan 12,36% produk domestik bruto (PDB), belanja negara di kisaran 14,59% sampai dengan 15,18% PDB.
"Kemudian didorong keseimbangan primer yang menuju positif, defisit dikendalikan di kisaran 2,45% sampai dengan 2,82% PDB, serta rasio utang dijaga dalam batas manageable di kisaran 37,98% sampai dengan 38,71% PDB," kata dia.