Defist APBN Era Prabowo Capai Rp 600 Triliun, Apa Kondisi Fiskal Aman?

Dok. Kementerian Pertahanan
Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto tampil sebagai pembicara dalam sesi Special Address pada forum IISS Shangri-La Dialogue 2024
6/6/2024, 17.20 WIB

Defisit APBN era pemerintahan Prabowo Subianto dirancang sebesar 2,45%-2,82% dari PDB atau sekitar Rp 600 triliun. Defisit ini termasuk tertinggi sepanjang sejarah transisi pemerintahan.

Kisaran defisit tersebut lebih besar ketimbang defisit APBN 2024 yang diperkirakan mencapai 2,29% terhadap PDB dengan nilai defisit sebesar Rp 552,8 triliun.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menilai pelebaran defisit sekitar Rp 600 triliun ini dapat memuluskan proyek pembangunan jalan tol Sumatera, IKN hingga program makan bergizi.

Berbeda dengan Luhut, sejumlah ekonom menilai defisit yang tinggi dapat mempersempit ruang fiskal di pemerintahan Prabowo. Karena pendapatan yang diterima negara akan habis untuk membiayai berbagai belanja atau program pemerintah.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, pada tahun-tahun sebelumnya, keseimbangan primer ditargetkan positif, di mana total pendapatan negara lebih besar daripada belanja negara.

"Jadi tantangan pengelolaan APBN ke depan sangat berat dengan beban program terlampau besar dengan kemampuan pajak yang tidak optimal," kata Nailul kepada Katadata.co.id, Kamis (6/6).

Menurut Nailul, program-program ambisius seperti IKN, PSN hingga makan siang gratis seharusnya ditinjau ulang. Dia menilai Menteri Keuangan Sri Mulyani seakan ingin mengatakan hal tersebut dalam penyusunan KEM-PPKF 2025 agar lebih berhati-hati dalam pengelolaan utang negara.

Bahkan, dia menilai Sri Mulyani tengah memberi tantangan bagi pemerintah baru dengan memasang target defisit APBN 2025 mendekati 3%. Ini terlihat jelas dari target keseimbangan primer yang defisit.

"Karena ini tidak hanya [mempertimbangkan] dari nilai tukar rupiah yang mempengaruhi pembiayaan hutang, namun juga besarnya belanja APBN untuk mengakomodir program tahun depan," ujarnya.

Selain itu, dia juga setuju atas usulan Bappenas untuk untuk menurunkan target defisit APBN 2025 menjadi 1,5%-1,8% agar pemerintahan Prabowo memiliki ruang fiskal yang lebih luas dalam pengelolaan APBN.

Menambah Beban Bunga Utang

Sementara itu, Ekonom Center on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet meminta pemerintah untuk mempertimbangkan konsekuensi ekspansi fiskal dengan penambahan defisit anggaran yang bisa berdampak pada APBN jangka menengah dan panjang.

Misalnya, pemerintah mengambil kebijakan ekspansi fiskal dan di saat yang bersamaan pajak yang selama ini menjadi sumber pendanaan utama APBN belum mampu mengakomodasi peningkatan kebutuhan belanja sehingga pemerintah perlu menambah pendanaan dari penerbitan surat utang.

"Saat ini, kita tengah berada pada tren atau era suku bunga yang relatif tinggi sehingga ketika pemerintah memutuskan untuk menerbitkan surat utang. Hal ini bisa berdampak terhadap penambahan beban belanja bunga utang terutama dalam jangka menengah hingga panjang," kata Yusuf.

Untuk itu, pemerintah perlu menjaga indikator keberlanjutan fiskal terutama dalam peninjauan utang dan belanja yang sifatnya lebih produktif dibandingkan pembayaran bunga utang.

Dampak Penambahan Belanja Rp 600 Triliun

Yusuf menilai, ada beberapa kondisi yang bisa terjadi ketika pemerintah memutuskan untuk menambah belanja hingga Rp 600 triliun. Pertama, penambahan defisit berpotensi terjadi pada tahun 2025. 

Skenario ini terjadi ketika pemerintah menambahkan pos anggaran belanja, namun di saat yang bersamaan tetap mempertahankan beberapa pos yang sudah disusun di APBN sebelumnya. Sehingga potensi pelebaran defisit di atas 2,5% bisa terjadi dengan skenario ini.

Kedua, penambahan belanja bisa saja tidak meningkatkan defisit APBN tetapi dengan catatan di saat yang bersamaan pertumbuhan penerimaan negara relatif lebih tinggi dibandingkan target tahun ini dan pemerintah melakukan penyesuaian belanja atau realokasi.

Menurut Yusuf, ketika pemerintah melakukan relokasi, maka ada pos belanja yang diambil dari APBN yang sudah dijalankan pemerintah sebelumnya. Namun jika realokasi tidak didasari pada penghitungan yang matang, bisa berdampak terhadap pos anggaran yang diambil. 

"Capaian output dalam jangka pendek bisa saja terganggu dan bagi pos belanja yang selama ini sudah berkontribusi terhadap beberapa outcome. Ini juga akan memberikan dampak ketika pemerintah mengambil opsi realokasi belanja," kata dia.

Reporter: Ferrika Lukmana Sari