Ekonom: Banyak PHK di Industri Tekstil Gegara Produk Cina Banjiri RI
Sejumlah ekonom menjelaskan penyebab makin maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan di industri tekstil pada tahun ini. Pertama, karena Indonesia kebanjiran produk tektil dari Cina.
Menurut Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda, kondisi ini berpengaruh terhadap permintaan tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Karena produk tektil lokal kalah saing, terutama dari sisi harga.
"Produk Cina itu bisa masuk ke dalam range harga masyarakat Indonesia. Belum lagi, ditambah produk dari Thailand yang juga sudah mulai masuk ke pasar-pasar tradisional," kata Nailul kepada Katadata.co.id, Senin (17/6).
Kondisi ini seakan mengulang sejarah runtuhnya produk batik Indonesia pada tahun 1990-an karena batik print dari Cina. Akibatnya, produk tekstil lokal kalah saing dengan produk impor.
Penyebab kedua, Amerika Serikat (AS) yang merupakan pasar bagi produk tekstil Indonesia, sedang mengalami penurunan permintaan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini berakibat pada permintaan produk tekstil menurun.
"Ini yang akhirnya produksi menurun dan terjadi PHK dalam jumlah yang besar. Dampaknya bisa meluas ke ekonomi makro dan daya beli masyarakat yang pasti tertekan. Kemiskinan juga bisa mengancam," ujar Nailul.
Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk memperketat barang impor dari Cina sambil meningkatkan efisiensi industri dalam negeri. Kemudian memperluas negara tujuan ekspor seperti ke Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga menilai terjadi penurunan permintaan global yang berimbas pada permintaan tekstil dalam negeri. Di sisi lain, pakaian dan produk tekstil dari luar juga membanjiri Indonesia.
"Untuk itu, perlu ada kebijakan yg terintegrasi perdagangan dan industri yg mengutamakan produk lokal. Impor bahan baku bisa diperlonggar upaya produksi dalam negeri meningkat," kata dia.
RI Kalah dari Cina
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, memang cukup beralasan jika produk impor Cina membanjiri Indonesia. Karena Cina memproduksi bahan baku kapas dalam jumlah besar. "Teknologi tekstil Cina juga lebih maju dari Indonesia, kita nggak mampu bersaing karena itu mahal," kata Tauhid.
Selain itu, kebijakan impor tekstil di Indonesia begitu longgar. Karena pemerintah membolehkan impor bahan baku jadi, padahal sebelumnya hanya berupa kapas atau bahan setengah jadi, baru kemudian diolah di Indonesia.
"Ini yang membuat industri tekstil dalam negeri nggak bisa berkembang. Padahal, kalau diolah di Indonesia, industri bisa jalan dan tenaga kerja terserap," ujarnya.
Tak hanya itu, Indonesia juga masih mengandalkan bahan baku impor dari Cina. Maka dengan pelemahan rupiah, maka harga beli bahan-bahan tekstil makin mahal dan bisa menekan biaya produksi.
Di tengah kondisi itu, industri pakaian sedang turun dalam 2-3 tahun terakhir. Berdasarkan Indeks Penjualan Riil (IPR), kata Tauhid, kelompok sandang naik tidak terlalu signifikan.
"Kalau kita melihat tren sandang, daya saing produk ini makin berat. Harga pakaian di pusat-pusat perbelanjaan makin mahal, padahal dulu di bawah Rp 100 ribu masih bisa dibeli," ujarnya.
Tak hanya itu, permintaan pasar ekspor dari AS dan Jepang juga mengalami perlambatan. Sehingga, ekspor alas kaki dan tekstil dari Indonesia juga ikut menurun.
Untuk saat ini, kata Tauhid, Indonesia bersaing dengan Bangladesh dan Vietnam yang menyediakan tenaga kerja murah. Karena negara maju sudah tidak produksi massal demi alasan lingkungan.