Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan sejumlah dampak negatif pelemahan rupiah terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Pengaruhnya pada belanja-belanja pemerintah yang memakai mata uang asing, seperti subsidi listrik, bahan bakar minyak (BBM), dan elpiji," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (24/6).
Ketiga subsidi tersebut saat ini mengalami deviasi atau penyimpangan dari asumsi makro tahun ini. Sebagai informasi, dalam sepekan terakhir rupiah melemah ke posisi Rp 16.400 per dolar Amerika Serikat. Sedangkan APBN 2024, pemerintah mematok kurs rupiah pada Rp 15 ribu per dolar AS.
Selisih subsidi akibat pelemahan rupiah, Sri Mulyani mengatakan, akan ditagihkan Pertamina dan PLN kepada pemerintah. "Setiap kuartal kami meminta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk mengaudit dan kami membayar sesuai kemampuan negara," ucapnya.
Besaran belanja subsidi energi saat ini masih sesuai Undang-undang APBN 2024, sebesar Rp 300 triliun. "Nanti kami akan lihat alokasi itu memenuhi berapa banyak volume yan sudah ditetapkan," kata Sri Mulyani.
Sebab Pelemahan Rupiah
Dalam paparannya, Sri Mulyani menyebut pasar saat ini harus melakukan adjustment (penyesuaian) terhadap ekspetasi yang meleset. Pasalnya, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), kemungkinan besar mempertahankan suku bunga tinggi hingga akhir tahun.
Padahal, pelaku pasar berharap The Fed akan menurunkan suku bunga empat hingga enam kali pada 2024. Kondisi ini yang membuat pasar negara-negara berkembang semakin tidak stabil (volatile). "Dari Bloomberg Equity Index dan Global Bond Index terlihat volatilitas masih membayangi," kata Sri Mulyani.
Indeks dolar telah naik sejak awal tahun. Tanda-tanda pelemahannya belum terlihat saat ini. Mata uang rupiah mengalami depresiasi 6,51% secara year-to-date. Negara-negara di Amerika Latin mengalami pelemahan mata uang lebih dalam.
Emerging market atau pasar negara berkembang mengalami tekanan berat karena pengaruh pelemahan rupiah, naiknya imbal hasil (yield) surat utang negara, turunnya pasar modal, suku bunga tinggi, dan harga komoditas yang turun.
Indonesia, menurut Sri Mulyani, masih relatif resilient (ulet). "Depresiasi rupiah lebih rendah dibandingkan negara lain," ucapnya. "Ini disebabkan kebijakan fiskal kita cukup hati-hati dan prudent (bijaksana)."