Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh angka Rp 16.431 per dolar AS pada Mei lalu karena dipengaruhi oleh kekecewaan pasar terhadap kondisi perekonomian global.
Karena suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed diperkirakan tidak akan mengalami penurunan seperti yang diharapkan pasar. Padahal, sebelumnya pasar memprediksi penurunan suku bunga sebanyak empat hingga lima kali pada tahun ini.
Namun, hingga sejauh ini, Fed Fund Rate (FFR) masih stabil pada posisi 5,5% dan tidak menunjukkan tanda akan terjadi penurunan. Bahkan menurut Sri Mulyani, penurunan suku bunga diperkirakan hanya terjadi satu kali.
"Ini yang menyebabkan ekspektasi pasar yang kecewa, sehingga menimbulkan reaksi yang menyebabkan penguatan indeks dolar AS dan menyebabkan depresiasi mata uang, termasuk mata uang kita,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Kamis (27/6).
Rupiah terdepresiasi 6,58% bersamaan dengan nilai tukar sejumlah negara berkembang lainnya. Namun pelemahan rupiah ini dinilai masih lebih baik dibandingkan Brasil dan Jepang yang menunjukkan pelemahan jauh lebih dalam. “Bahkan Jepang berada pada level yang sebanding dengan 1986,” ujar dia.
Cadangan Devisa Bank Indonesia
Pada kesempatan terpisah, Bank Indonesia (BI) menegaskan komitmennya untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Bank Indonesia terus berada di pasar dan akan tetap berusaha menstabilkan nilai tukar rupiah,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo seusai mengikuti rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/6).
Dalam merespons pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini, BI telah melakukan intervensi dengan menggunakan cadangan devisa yang saat ini posisinya sebesar US$ 139 miliar.
Cadangan devisa tersebut dikumpulkan saat terjadi aliran modal yang masuk ke Indonesia (inflow) dan dimanfaatkan ketika keluarnya modal asing dari Indonesia (outflow), dalam rangka menjaga stabilitas rupiah.
Selain itu, di bawah koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), BI juga berupaya mempertahankan stabilitas Surat Berharga Negara (SBN) dengan membeli SBN dari pasar sekunder.
BI juga memanfaatkan instrumen jangka pendek yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) guna menarik arus masuk valuta asing dan mengurangi arus keluar dengan tujuan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah.
“Sampai saat ini terjadi inflow dari penerbitan SRBI. Jumlahnya besar Rp 179,86 triliun itu inflow dari asing yang membeli SRBI, dan itu menambah pasokan di valas,” kata Perry.
Dia pun menjelaskan bahwa BI terus berkoordinasi dengan pemerintah terkait Devisa Hasil Sumber Daya Alam (DHE SDA). Dari jumlah DHE SDA yang masuk sebesar Rp 13 miliar, sebanyak Rp 3,9 miliar disalurkan ke BI.