Relaksasi PPN dan Pembatasan Impor Dinilai Bisa Pacu Sektor Manufaktur

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/aww.
Pekerja membersihkan mesin yang digunakan untuk produksi tisu basah di PT The Univenus Cikupa, Tangerang, Banten, Rabu (11/11/2020). Kementerian Perindustrian menyatakan pertumbuhan sektor industri manufaktur di kuartal III-2020 sebesar 5,25 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
2/7/2024, 15.33 WIB

Sejumlah ekonom meminta pemerintah untuk merelaksasi tarif pajak pertambahan nilai (PPN) serta membatasi barang impor dari luar demi meningkatkan industri manufaktur dalam negeri.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mendorong pemerintah agar merelaksasi tarif PPN yang saat ini 11% dan 12% di 2025, menjadi 7%-8% guna lebih memacu kontribusi sektor manufaktur terhadap devisa negara.

"Perlu dukungan dari pemerintah untuk jaga demand side lewat relaksasi tarif PPN," kata Bhima di Jakarta, Selasa (2/7).

Menurut Bhima, relaksasi ini diperlukan karena laporan S&P Global Market Intelligence yang menyatakan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan Juni mengalami pelemahan 1,4 poin menjadi 50,7 dibandingkan bulan sebelumnya.

Bhima menekankan bahwa penerapan relaksasi tarif PPN itu bersifat sementara (temporary), khususnya diterapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025.

Apalagi, penurunan PMI manufaktur terkait dengan naiknya biaya bahan baku seiring pelemahan nilai tukar rupiah, tingginya rasio suku bunga, serta tekanan inflasi bahan makanan, sehingga permintaan terhadap produk industri mengalami penurunan.

Selain itu, dia juga meminta pemerintah agar mengendalikan inflasi pangan, ekspansi pasar ekspor alternatif, memberikan diskon tarif listrik sebesar 40%-50% di jam beban puncak, serta melakukan kembali pengetatan impor. "Impor perlu dibatasi dengan tarif dan kebijakan nontarif," kata Bhima.

Persiapan Optimal

Menurut Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah, perlu adanya persiapan yang optimal bila relaksasi PPN diterapkan. Karena adanya penurunan pajak, dapat mengganggu penerimaan negara yang berujung pada defisit perekonomian

"Harus kita siapkan dulu di sisi yang lainnya, kalau penerimaan itu turun, sementara belanja pemerintah masih diharapkan naik dengan semua program-program pemerintah, artinya defisit melebar, defisit melebar itu berarti utangnya naik," kata dia.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong adanya penyesuaian pengaturan impor untuk mendongkrak optimisme pelaku industri di tanah air yang terpengaruh oleh pengetatan pasar global, serta adanya regulasi perdagangan yang kurang mendukung.

Penyesuaian kebijakan perlu dilakukan dengan mengembalikan pengaturan impor ke Permendag No. 36 Tahun 2023, serta pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk sejumlah komoditas.

Reporter: Antara