Ruang Fiskal Terbatas, Bisakah Badan Gizi Nasional Kelola Makan Bergizi Gratis?

ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan/tom.
Siswa menyantap makanan saat pelaksanaan uji coba makan bergizi gratis di SDN 07 Cideng, Jakarta, Senin (19/8/2024). Uji coba tersebut dilaksanakan menggunakan dana operasional Gubernur DKI Jakarta sebesar Rp8 juta untuk membiayai sekitar 500 siswa.
22/8/2024, 06.05 WIB

Keterbatasan ruang fiskal menjadi tantangan bagi Badan Gizi Nasional untuk mengelola program makan bergizi gratis. Apalagi, program unggulan Prabowo Subianto itu hanya mendapat anggaran Rp 71 triliun, yang sebelumnya diharapkan bisa mencapai Rp 400 triliun.

Researcher, Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ariyo DP Irhamna menyoroti keterbatasan ruang fiskal Indonesia karena adanya kewajiban pembayaran utang.

Tercatat utang pemerintah mencapai Rp 8.502,69 triliun pada Juli 2024. Berdasarkan Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, Prabowo juga harus membayar bunga utang senilai Rp 552,9 triliun pada tahun pertama kepemimpinannya.

“Angka ini belum termasuk pembayaran pokok utang. Ini juga menjadi tantangan dari program makan gratis terkait bagaimana cara mengimplementasikan rancangan program di tengah keterbatasan fiskal dan beberapa masalah ekonomi,” kata Ariyo kepada Katadata.co.id, Rabu (21/8).

Dalam dokumen Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025, alokasi makan bergizi gratis mencapai Rp 71 triliun untuk biaya makanan, distribusi, dan operasional lembaga yang menangani program makan bergizi gratis.

Adapun yang dimaksud kapasitas fiskal adalah kemampuan keuangan negara yang dihimpun dari pendapatan negara untuk mendanai belanja negara. Tercatat pendapatan negara mencapai Rp 1.545,4 triliun pada Juli 2024.

Namun belanja negara justru melonjak 12,2% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 1.638,8 triliun. Hal ini berakibat defisit APBN melebar menjadi Rp 93,4 triliun karena pengeluaran pemerintah lebih besar dari pemasukan. 

Berpotensi Anggaran Bengkak

Selain keterbatasan fiskal, Ariyo juga melihat potensi anggaran makan bergizi gratis bisa bengkak menjadi Rp 84 triliun. Angka itu lebih besar dari alokasi anggaran yang disiapkan sebesar Rp 71 triliun.

Hitungan itu berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Semester Ganjil 2024/2025 di 36 provinsi tanpa DKI Jakarta dan Bali. Hitungan ini mencakup data pendidikan di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA).

"Maka alokasi yang dibutuhkan Rp 84 triliun, tapi biaya riilnya bisa semakin besar. Ini belum termasuk biaya logistik, biaya personil atau tim dan lain-lain," ujarnya.

Bahkan menurut Aryo, jika pemerintah tetap menggunakan alokasi makan bergizi gratis sebesar Rp 15 ribu per porsi, maka anggaran yang disiapkan bisa jauh lebih besar.

"Anggaran makan bergizi gratis di 36 provinsi bisa tembus Rp 168 triliun, andai tiap porsinya tetap Rp 15 ribu per anak," ujarnya.

Untuk itu, ia berharap pemerintahan baru dapat bergerak lebih cepat untuk menjelaskan programnya lebih detil lagi. “Agar kepercayaan awal dari publik dan pasar dapat dimunculkan,” kata Ariyo.

Menentukan Efektivitas Program Prabowo

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai Badan Gizi Nasional akan menentukan efektivitas program Prabowo tersebut. “Sebab, badan ini ditujukan untuk mengkoordinasi program makan bergizi gratis,” kata Yusuf.

Meskipun begitu, pembentukan berpotensi menambah simpul koordinasi dalam program pemerintah. Padahal, simpul koordinasi kerap kali akan memperlambat proses pemerintah dalam mengeksekusi suatu program, terutama di masa lampau.

“Apalagi, jika kita bicara masalah keterbatasan ruang anggaran fiskal yang sebenarnya masih bisa dialokasikan ke anggaran lain,” ujar Yusuf.

Setelah Badan Gizi Nasional sudah dibentuk, maka tanggung jawab pemerintah adalah merancang bentuk piloting program makan bergizi gratis. Menurut Yusuf, rancangan tersebut termasuk daerah yang akan dipilih;

“Rancangan proses monitoring dan evaluasi program juga perlu menjadi tupoksi awal dari badan ini. Karena program makan bergizi, kemungkinan besar akan dijalankan sehingga evaluasi secara rutin perlu dilakukan oleh badan ini,” kata Yusuf.

Termasuk di dalamnya terkait evaluasi nutrisi atau gizi yang diberikan apakah sudah sesuai rancang awal. Begitu juga dalam menghadapi konsekuensi yang tidak diinginkan seperti peningkatan impor bahan pangan di tahap. Serta tak kalah penting terkait dampak program ini terhadap sektor UMKM dan pertanian.

“Apakah badan ini efektif memberi efek ke pertumbuhan ekonomi dan efektif dalam memberikan pencegahan untuk stunting. Dan bagaimana badan ini menyusun rencana atau program secara bertahap mulai tahun depan sampai lima tahun ke depan,” ujar Yusuf.

Reporter: Rahayu Subekti