Nasib Kelas Menengah Bisa Makin Terjepit Akibat Iuran Pensiun Tambahan

Fauza Syahputra|Katadata
Sejumlah warga saat mengunjungi Tebet Eco Park, Jakarta, Rabu (3/7/2024). Taman seluas 7,3 hektar yang dikelilingi oleh pepohonan rindang dan menyajikan udara segar ini menjadi salah satu tempat wisata alternatif warga Jakarta dalam menghabiskan waktu liburan sekolah.
10/9/2024, 04.22 WIB

Gaji pekerja bakal kembali dipotong untuk iuran program pensiun. Rencana tersebut sejalan dengan amanat dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau UU P2SK.

Namun rencana pemotongan gaji tersebut mendapat protes dari banyak pihak. Karena gaji pekerja sudah banyak dipotong untuk berbagai jenis iuran mulai dari program jaminan hari tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan.

Kemudian potongan gaji untuk iuran BPJS Kesehatan, Pajak Penghasilan (PPh) 21, dan adanya rencana iuran tambahan untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Hal ini dikhawatirkan akan membebani masyarakat kelas menengah yang makin terjepit, yang kemudian berimbas pada penurunan daya beli dan perlambatan ekonomi nasional.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, penambahan iuran pensiun ini tidak perlu diterapkan saat ini karena bisa membebani para pekerja.

"Pekerja informal dengan pendapatan di atas Rp 5 juta hingga Rp 15 juta per bulan sudah dipotong berbagai iuran wajib seperti BPJS Kesehatan, PPh dan Tapera," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Senin (9/9).

Menekan Daya Beli Kelas Menengah

Menurut Bhima, beban potongan pekerja yang sudah terlalu banyak dikhawatirkan akan menurunkan disposable income atau pendapatan yang siap dibelanjakan.

“Ini bisa menekan daya beli kelompok menengah. Dalam 10 tahun terakhir disposable income per kapita saja sudah anjlok,” ujar Bhima.

Padahal, persiapan untuk pensiun tidak harus berbentuk pengumpulan wajib dana ke suatu lembaga. Jika ada pekerja yang punya kelebihan pendapatan, maka bisa dialokasikan untuk investasi lain seperti reksadana, saham, dan properti.

“Kalau dobel-dobel sudah investasi di instrumen aset kemudian diwajibkan untuk dana pensiun jadi tidak pas ya,” kata Bhima.

Ada Indikasi untuk Menutup Defisit APBN

Bhima juga melihat adanya indikasi lain dari rencana pemerintah untuk menerapkan iuran tambahan untuk program pensiun. Dia melihat indikasi iuran tersebut akan digunakan untuk menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

“Ini karena penghimpunan dana pensiun ada di surat utang pemerintah atau surat berharga negara (SBN),” ujar Bhima.

Apalagi, utang jatuh tempo pemerintah mencapai sekitar Rp 800 triliun pada 2025. Belum lagi, bunga utang yang harus dibayar pemerintah juga mencapai sekitar Rp 550 triliun.

Setidaknya, negara butuh Rp 1.350 triliun untuk membayar bunga utang. Jumlah tersebut tidak bisa ditutup oleh pajak sehingga memerlukan penerbitan SBN yang lebih agresif.

“Nah, dana pensiun ini bisa menutup celah kebutuhan pembiayaan program pemerintah,” kata Bhima.

Untuk itu, masyarakat wajib mempertanyakan secara detil soal rencana iuran apapun yang diinisiasi dari pemerintah. Apalagi, lanjut dia, banyak model penghimpunan dana yang berujung fraud dan gagal bayar.

Mengurangi Tingkat Konsumsi

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, kebijakan pensiun iuran tambahan untuk pensiun bisa semakin membebani kelas menengah bawah.

Apalagi, 9,48 juta masyarakat kelas menengah sudah turun kasta dan rentan menjadi miskin. “Mereka rentan juga untuk turun kelas ketika berbagai iuran yang direncanakan pemerintah itu diwajibkan,” ujar Faisal.

Bahkan, pemerintah tidak hanya berencana menambah program dana pensiun, tetapi juga menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan hingga menerapkan iuran Tapera.

“Kalau diakumulasikan, ini bisa mengurangi tingkat konsumsi mereka, terutama untuk hal-hal yang lebih penting pada saat sekarang. Ini dengan asumsi pendapatannya cukup untuk disisihkan untuk hari tua,” kata Faisal.

Untuk itu, penambahan iuran yang berujung pemotongan gaji pekerja berpotensi menurunkan kemampuan konsumsi masyarakat. Jika kebijakan ini tetap dipaksakan, masyarakat bakal mencari jalan pintas. 

“Pekerja harus utang sana sini untuk konsumsi atau hal-hal yang buruk. Misalnya dengan judi online, kan sekarang meningkat ya,” ujar Faisal.

Reporter: Rahayu Subekti