Penurunan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) diperkirakan bakal memberi dampak positif dan negatif terhadap perekonomian nasional.
The Fed baru saja menurunkan suku bunga acuan atau Fed Funds Rate sebesar 50 basis points (bps) dari 5,25-5,5% menjadi 4,75-5,0%. Ini merupakan penurunan suku bunga untuk pertama kalinya sejak Maret 2020.
Untuk itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal meminta pemerintah untuk mengantisipasi dampak dari pemangkasan suku bunga The Fed.
Menurut Faisal, pelonggaran kebijakan The Fed yang terlalu cepat dapat menghambat perkembangan dalam pengendalian inflasi. Sementara keputusan pelonggaran kebijakan yang terlalu lambat dapat berdampak negatif pada perekonomian riil.
“Dengan demikian, jika ekonomi tetap kuat dan inflasi tetap bertahan, The Fed dapat melonggarkan kebijakan moneter dengan kecepatan yang lebih lambat,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Kamis (19/9).
Namun, jika pasar tenaga kerja AS melemah secara tak terduga atau inflasi menurun lebih cepat dari yang diharapkan, The Fed masih akan melanjutkan pelonggaran kebijakan moneternya.
Jika perkembangan ekonomi AS berkembang seperti yang diantisipasi median anggota Federal Open Market Committee atau FOMC yang memperkirakan suku bunga The Fed bakal turun menjadi 4,5% pada akhir 2024 dan 3,5% pada akhir 2025.
“Ini berarti The Fed mengantisipasi penurunan suku bunga sebesar 100 bps pada akhir tahun ini, mengimplikasikan dua kali lagi penurunan sebesar 25 bps,” ujar Faisal.
Sementara pada 2025, The Fed diperkirakan bakal kembali menurunkan suku bunga sebesar 100 bps. Lalu pada 2026 dan 2027, suku bunga The Fed akan turun menjadi 3% yang menandakan penurunan 50 bps terakhir dan berakhirnya siklus penurunan suku bunga pada 2026.
Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan proyeksi pada Juni 2024 yang mencerminkan ekspektasi inflasi yang lebih rendah, tingkat pengangguran yang lebih tinggi, dan pergeseran keseimbangan risiko. "Namun, proyeksi ini tidak mewakili rencana atau keputusan formal dari The Fed,” kata Faisal.
Mengakhiri Era Suku Bunga Tinggi
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, penurunan suku bunga tinggi menjadi sinyal era suku bunga tinggi mulai berakhir dan masuk fase suku bunga rendah.
Dengan begitu, ada sisi positif dari penurunan suku bunga The Fed. Salah satunya penurunan biaya pinjaman yang meringankan beban pelaku usaha, khususnya di sektor manufaktur.
“Apalagi Bank Indonesia menyambut penurunan suku bunga The Fed dengan memangkas suku bunga 25 bps. Itu langkah yang tepat,” ujar Bhima.
Meskipun begitu, penurunan suku bunga The Fed secara historis merupakan sinyal ekonomi AS menuju resesi. Sebab, pada September 2007, Fed Funds Rate mulai dipangkas dari 5,25% menjadi 4,75% pada Oktober 2027.
Menurut Bhima, hal itu menjadi sinyal awal resesi cukup parah karena subprime mortgage atau pinjaman bunga tinggi untuk orang dengan kredit rendah.
Lalu pada 2020, The Fed Kembali memangkas suku bunga karena pandemi Covid-19. Hal itu menunjukkan setiap kali ada pemangkasan Fed Funds Rate, bukan berarti negara berkembang diuntungkan karena mendapat limpahan investasi. “Ini karena investor cari imbal hasil tinggi,” kata Bhima.
Bisa jadi, kata Bhima, efek limpahan investasi ini hanya bersifat temporer. Begitu sinyal resesi ekonomi meningkat, maka dana asing keluar lagi.
Meskipun begitu, pemangkasan suku bunga The Fed kali ini memang mendorong rupiah menguat, IHSG naik namun sifatnya temporer. Namun di sisi lain, dapat mendorong risiko pembalikan dana asing atau capital reversal.
“Perlu diwaspadai capital reversal jika kondisi ekonomi global dan domestik AS memburuk,” ujar Bhima.
Mendukung Ekonomi dan Penyaluran Kredit
Selain The Fed, Bank Indonesia (BI) juga baru saja menurunkan suku bunga acuan atau BI-Rate sebanyak 25 basis point (bps) menjadi 6% pada September 2024.
Faisal memperkirakan momentum penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional tetap solid. Kebijakan ini dapat mendorong penurunan biaya dana (cost of fund) yang dikeluarkan perbankan.
“Dengan pelonggaran kebijakan moneter Bank Indonesia diperkirakan akan mendorong penurunan cost of fund yang selanjutnya akan mendorong penurunan suku bunga kredit,” ujar Faisal.
Faisal yakin, penurunan suku bunga acuan BI akan direspons oleh penurunan suku bunga pasar uang antar bank yang selanjutnya akan berpengaruh pada penurunan suku bunga perbankan, termasuk suku bunga kredit.
Pada umumnya, penurunan suku bunga deposito sekitar satu bulan. Sementara transmisi pada suku bunga kredit sekitar tiga sampai bulan tergantung dari kondisi likuiditas dan risiko kredit perbankan.
“Penurunan suku bunga perbankan diperkirakan akan mendorong solidnya permintaan kredit dengan mempertimbangkan penurunan biaya pinjaman,” kata Faisal.