Pemerintah Tarik Utang Baru Rp 347,6 Triliun pada Agustus 2024, Terbesar di SBN

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) bersama Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (kiri) dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (9/9/2024). Rapat tersebut membahas Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas dalam RUU APBN 2025.
23/9/2024, 19.02 WIB

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penarikan utang baru mencapai Rp 347,6 triliun pada Agustus 2024. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut nilai utang tersebut setara 53,6% dari target APBN 2024 sebesar Rp 648,1 triliun.

Mayoritas pembiayaan utang tersebut berasal dari surat berharga negara atau SBN. “Pembiayaan utang ini terdiri atas SBN neto sebesar Rp 310,4 triliun dan ini 46,6% dari target APBN,” kata Suahasil dalam konferensi pers APBN KiTA edisi September 2024, Senin (23/9).

Penarikan utang baru melalui SBN sebesar Rp 310,4 triliun justru melonjak signifikan. Sebab, utang melalui penerbitan SBN pada Agustus 2023 hanya sebesar Rp 183 triliun.

"Tentu dengan pendanaan APBN yang lebih besar, kita realisasikan Rp 310 triliun, tetapi kita menerima incoming inflow (arus modal masuk) dari pasar SBN,” ujar Suahasil.

Suahasil menjelaskan, incoming inflow ke emerging market termasuk Indonesia sudah kembali pulih. Dengan incoming inflow tersebut, Indonesia bisa mempertahankan dan memperbaiki imbal hasil serta biaya bunga.

Selain SBN, pembiayaan utang pemerintah juga dari pinjaman sebesar Rp 37,2 triliun pada Agustus 2024. Lalu pembiayaan nonutang pemerintah pada periode tersebut sebesar Rp 55,7 triliun.

Dengan realisasi itu, pemerintah akan memantau perkembangan pasar keuangan dunia. Salah satunya arah suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Fed Funds Rate.  

“Ini adalah perkembangan yang baik dan perlu kita pertahankan sambil tetap melihat arah dari pergerakan pasar keuangan dunia terutama Fed Funds Rate maupun kondisi Eropa maupun Cina ke depannya,” kata Suahasil.

Suahasil memastikan pemerintah akan mengelola pembiayaan 2024 secara terukur dengan mempertimbngkan outlook defisit APBN dan likuiditas pemerintah. Selain itu juga tetap mencermati dinamika pasar keuangan.

Pembayaran Utang SBN Jauh Lebih Sulit

Dengan total utang tersebut, maka pemerintahan Prabowo Subianto dipastikan akan menanggung beban utang yang lebih besar. Utang jatuh tempo pada dua sampai tiga tahun pertama pemerintahan Prabowo mencapai Rp 700 triliun hingga Rp 800 triliun.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mempermasalahkan utang jatuh tempo tersebut berbentuk SBN. “Masalahnya dari utang jatuh tempo ini adalah sebagian besar utang itu berbentuk SBN atau sertifikat berharga negara,” kata Bhima dalam diskusi Celios, Kamis (12/9).

Menurut Bhima, mengatasi pembayaran surat utang adalah yang paling sulit. Pemerintah akan kesulitan melakukan renegosiasi utang karena jumlah kreditur atau pembeli SBN bervariasi mulai dari lembaga keuangan, rumah tangga, bank, hingga lembaga keuangan. “Belum lagi pemain-pemain investasi dari asing yang tersebar di banyak sekali negara,” ujar Bhima.

Sementara renegosiasi yang paling mudah beradal dari pinjaman pemerintah, namun jumlahnya masih lebih sedikit dibandingkan porsi SBN. Kondisi tersebut akan membuat beban fiskal yang diwarisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo menjadi lebih berat.

Reporter: Rahayu Subekti