Pemerintah Targetkan PPN dan PPnBM Era Prabowo Rp 945,1 Triliun, Bisa Tercapai?

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.
Pengunjung mengamati mobil-mobil yang dipamerkan dalam IIMS Hybrid 2021 di JiExpo Kemayoran, Jakarta, Minggu (18/4/2021). Presiden Joko Widodo menyatakan insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM-DTP) telah membuat angka pesanan pembelian atau "purchase order" mobil hingga pertengahan April 2021 melonjak hingga 190 persen.
24/9/2024, 14.48 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan penerimaan negara dari pajak pertambahan nilai atau PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mencapai Rp 945,1 triliun. Hal ini tertuang dalam Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Target tersebut melonjak 15,4% lebih besar dari perkiraan tahun ini yang mencapai Rp 819,2 triliun. Sejumlah ekonom menilai target pajak pada tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto itu terlalu ambisius dan melampaui (overshoot) kondisi permintaan domestik.

“Target PPN dan PPnBM masih overshoot karena kinerja permintaan domestik masih cukup menantang,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada Katadata.co.id, Senin (23/9).

Bhima juga menyoroti pendapatan kelas menengah yang juga tertekan sehingg sulit mencapai target PPN. Hal itu diperparah dengan adanya rencana pemerintah yang ingin menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 2025.

“Kebijakan tarif PPN 12% justru berisiko menurunkan permintaan secara agregat dan memengaruhi pendapatan PPN itu sendiri,” ujar Bhima.

Bisa Berdampak Buruk ke Penerimaan Pajak

Apalagi, kata Bhima, konsumen belum siap dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Jika program ini tetap diterapkan pemerintah, maka akan berdampak buruk terhadap penerimaan pajak.

“Ingat kenaikan tarif 11% menjadi 12% itu bukan cuma naik 1% tapi setara dengan 9% kenaikan tarif. Tinggi sekali dan kontraktif terhadap konsumsi rumah tangga,” kata Bhima.

Selain itu, Bhima juga menyoroti porsi belanja perpajakan pada 2025 juga cukup besar. Bahkan, 58% belanja perpajakan didominasi PPN dan PPnBM.

“Kalau insentif pajaknya masih besar, sementara ekonomi tahun depan targetnya hanya tumbuh 5,2%, maka target PPN dan PPnBM belum pas,” ujar Bhima.

Selain itu, PPN dan PPnBM dari sisi impor bahan baku dan barang modal juga belum bisa diandalkan untuk mendorong target ambisius tersebut. Bhima menyebut impor barang konsumsi sebagai salah satu basis PPnBM juga turun 7,4% secara tahunan pada Januari-Agustus 2024.

Sementara secara total barang impor nonmigas sepanjang Januari-Agustus 2024 hanya tumbuh 3,31% secara tahunan. Hal itu menunjukkan adanya tekanan baik sisi konsumsi maupun produksi.

Bhima menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi insentif pajak ketimbang menaikan tarif PPN. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari potensi kerugian negara. 

Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kepatuhan pembayaran PPN dan PPnBM untuk mencapai target pajak pada tahun depan. Hal ini dibarengi dengan program pencegahan barang jadi impor.

Pilihan Singkat Dongkrak Penerimaan Pajak

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menungkapkan bahwa terdapat banyak pilihan untuk mendongkrak penerimaan pajak. Meskipun begitu opsi tersebut bisa mendorong mobilisasi penerimaan dalam waktu singkat.

“Opsi ini seperti kenaikan tarif maupun pengurangan insentif dan fasilitas PPN,” kata Fajry.

Jika pada 2025 tidak ada peningkatan restitusi PPN seperti pada awal tahun ini, maka bisa saja target terpenuhi. Restitusi pajak merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh wajib pajak ketika terjadi kelebihan pembayaran pajak.

“Jika tidak ada restitusi, saya kira masih ada peluang untuk mencapai target. Walau memang cukup tinggi target PPN dan PPnBM pada tahun depan naik 15,4%,” ujar Fajry.

Meski demikian, dia optimistis target penerimaan pajak bisa tercapai. Jika melihat asumsi kondisi makro dalam APBN 2025 dengan kondisi ekonomi tumbuh 5,05% dan PPN secara bruto naik 9%.

Reporter: Rahayu Subekti