Wamenkeu Thomas Sebut Pertumbuhan Ekonomi 8% Bukan Mimpi, Ini Potensinya

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nym.
Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menyampaikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Kemenkeu, Jakarta, Kamis (18/7/2024). Presiden Joko Widodo melantik anggota Bidang Ekonomi dan Keuangan Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Thomas Djiwandono sebagai Wakil Menteri Keuangan II mendampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wamenkeu I Suahasil Nazara dalam Kabinet Indonesia Maju pada sisa masa jabatan periode 2019-2024.
24/9/2024, 16.00 WIB

Presiden terpilih Prabowo Subianto sempat mengungkapkan ambisinya dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8%. Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menilai target tersebut bukan hanya mimpi  karena Indonesia memiliki sejumlah potensi.

“Mencapai pertumbuhan 8% yang ambisius bukanlah mimpi, tetapi sebuah keharusan,” kata Thomas dalam acara The International Seminar and Growth Academy ASEAN, Selasa (24/9).

Thomas mengatakan fokus utama Prabowo meliputi bidang pendidikan, kesehatan, pangan, dan ketahanan energi. Sementara proyek-proyek yang layak secara komersial akan diupayakan melalui kemitraan publik bersama swasta.

Keponakan Prabowo itu menilai, investasi tersebut akan sangat penting dalam mendorong tahap pembangunan berikutnya. Hal itu dilakukan dengan anggaran negara yang fokus pada pemenuhan kesejahteraan jangka panjang.

“Upaya ini sangat penting bagi Indonesia untuk terbebas dari perangkap pendapatan menengah,” ujar Thomas.

Untuk itu, Indonesia perlu memanfaatkan potensi mesin pertumbuhan baru seperti ekonomi digital dan hijau. Apalagi, aset terbesar Indonesia melalui investasi sumber daya manusia (SDM) lewat pendidikan, keterampilan, dan kesehatan akan menjadi landasan bagi tenaga kerja masa depan yang produktif dan inovatif.

“Kita harus menekankan peran inovasi teknologi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Merangkul transformasi digital dan mendorong inovasi akan memungkinkan kita bersaing secara global dan membuka peluang baru bagi semua. Keberlanjutan juga merupakan kuncinya,” kata Thomas.

Thomas menambahkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga harus inklusif dan ramah lingkungan. Hal itu dilakukan dengan kebijakan yang mempromosikan kesetaraan sosial, melindungi sumber daya alam dan mengatasi perubahan iklim.

Untuk mencapai target tersebut, Thomas mendorong kolaborasi tidak hanya dilakukan di ASEAN tetapi juga secara global. Sebab, Asia Tenggara akan menjadi mesin utama pertumbuhan global.

“Hubungan erat presiden terpilih dengan para pemimpin regional akan semakin memperkuat posisi Indonesia di ASEAN. Dengan bekerja sama, baik di dalam negara kita maupun di seluruh kawasan ASEAN, kita dapat memanfaatkan kekuatan kolektif kita dan mengatasi tantangan bersama,” ujar Thomas.

Tantangan Sulit Menuju Pertumbuhan Ekonomi 8%

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai target pertumbuhan ekonomi 8% menjadi sangat sulit, bahkan mustahil dicapai. Hal itu dilihat dari berbagai sisi tantangan yang ada, baik geoekonomi dan geopolitik, serta ekonomi domestik.

“Dari global, saya lihat ekonomi negara maju tidak akan cepat pulih seperti ketika tahun 2014 ke bawah,” kata Nailul.

Apalagi, ekonomi Cina sudah mengendur ke angka 4%-an dan ekonomi Amerika Serikat juga sangat tidak stabil. Permintaan produk dalam negeri Cina maupun AS juga mengalami penurunan.

“Dampaknya, permintaan barang dari Indonesia pasti mengalami perlambatan. Permintaan yang berkurang, artinya produksi akan semakin turun, PMI Manufaktur melemah, dan berdampak pada maraknya PHK,” kata Nailul.

Dari sisi domestik, daya beli masyarakat tertekan karena kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN. Bahkan, pemerintah akan menaikkan PPN menjadi 12% pada 2025. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, tarif PPN masih di angka 10%.

Belum lagi, ada kenaikan harga barang seperti bahan pangan sudah menurunkan daya beli masyarakat. Ditambah, kebijakan tabungan perumahan rakyat atau Tapera dan asuransi wajib kendaraan third party liability untuk kendaraan yang bisa menyebabkan daya beli masyarakat semakin terpukul.

Jika daya beli masyarakat terpukul, maka akan berdampak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Mengingat, 50% PDB Indonesia ditopang oleh sektor konsumsi masyarakat. Di tengah penurunan daya beli, pengeluaran pemerintah justru membengkak untuk program infrastruktur yang memberi efek jangka panjang, terbatas, dan tidak langsung ke ekonomi.

“Maka perlu rasionalisasi pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan 8% menurut saya terlalu ambisius untuk dicapai. Tembus 6% saja, itu sudah sangat bagus,” kata Nailul.

Reporter: Rahayu Subekti