Wamenkeu Thomas Siapkan Dua Jurus Hadapi Tantangan Sistem Pajak Internasional

Katadata/Rahayu Subekti
Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono dalam pertemuan makan siang dengan wartawan di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (11/9).
Penulis: Rahayu Subekti
25/9/2024, 08.24 WIB

Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono mengungkapkan saat ini sistem perpajakan internasional sedang diterpa dua tantangan urama. Tantangan tersebut yaitu digitalisasi ekonomi dan persaingan tarif pajak yang cukup agresif. 

Wamenkeu Thomas memastikan Indonesia juga ikut menyiapkan diri dengan solusi untuk mengatasi kedua tantangan tersebut. Menurut Thomas solusi tersebut juga sudah diambil beberapa negara di duniam. 

Thomas menuturkan, pesatnya perkembangan teknologi digital memudahkan perusahaan multinasional beroperasi secara lintas negara. “Kondisi itu memungkinkan mereka mendapatkan penghasilan yang signifikan tanpa harus hadir secara fisik di negara pasar,” kata Thomas dalam acara The 2nd International Tax Forum (ITF), Selasa (24/9). 

Selain digitalisasi ekonomi, Thomas menyebut tantangan perpajakan internasional juga terjadi dengan adanya kompetisi tarif pajak. Menurutnya, hal itu mendorong terjadinya praktik base erosion and profit shifting atau BEPS.

Untuk mengatasi hal tersebut, Thomas mengatakan negara-negara yang tergabung dalam inclusive framework on BEPS menyepakati solusi Pilar 2. Solusi tersebut terdiri dari ketentuan pajak minimum global dan subject to tax rules atau STTR. 

Thomas mengatakan saat ini pajak minimum global diterapkan di lebih dari 40 negara di dunia seperti Vietnam, Australia, Jepang. Korea, Uni Eropa, dan beberapa negara lainnya. “Indonesia juga berencana menerapkan ketentuan pajak minimum global dalam ketentuan domestik,” ujar Thomas. 

Terkait STTR, Indonesia bersama dengan beberapa negara lainnya telah melakukan penandatanganan Multilateral Instrument (MLI) STTR pada 19 September 2024. Hal tersebut memberikan sinyal bahwa negara-negara di dunia menilai pentingnya solusi Pilar 2. 

“Penerapan Pilar 2 bukan lagi merupakan pilihan bagi Indonesia. Bila Indonesia tidak menerapkan pilar 2, maka potensi pajak akan diambil negara lain. Ini sama saja mensubsidi negara lain,” kata Thomas. 

Keponakan presiden terpilih Prabowo Subianto itu menjelaskan penyelarasan kebijakan pajak domestik dengan kerangka kerja perpajakan internasional sangat berperan dalam menciptakan iklim bisnis serta investasi yang lebih adil dan transparan dalam kerja sama ekonomi global. Iklim investasi yang baik serta fiskal yang sehat menurutnya berperan penting penting dalam mendukung agenda pembangunan nasional yang berkelanjutan. 

“Solusi Pilar 2 sangat relevan untuk menyelaraskan pemahaman seluruh pemangku kepentingan terkait perkembangan implementasi Pilar 2 baik di Indonesia maupun di negara mitra,” ujar Thomas.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan, saat ini perekonomian dunia masih menghadapi tantangan kompleks pascapandemi Covid-19. Hal itu dipengaruhi oleh krisis geopolitik, perubahan iklim, dan dinamika demografi masyarakat global. 

Untuk tetap menjaga kesinambungan fiskal dalam mencapai target pembangunan nasional secara prudent, Febrio mengatakan setiap negara perlu memahami potensi optimal dari ruang fiskal perpajakannya. “Hal ini dengan turut memperhitungkan kebutuhan dukungan kepada perekonomian dalam bentuk insentif perpajakan,” kata Febrio. 

Reporter: Rahayu Subekti