Studi Celios: Kekayaan 50 Orang Terkaya RI Sama dengan Harta 50 Juta Penduduk

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.
Deretan permukiman penduduk dengan latar belakang apartemen di kawasan Muara Angke, Jakarta, Senin (1/7/2024).
26/9/2024, 08.29 WIB

Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis laporan terbarunya berjudul Pesawat Jet untuk Si Kaya, Sepeda untuk Si Miskin. Dalam laporan tersebut Celios mengungkapkan adanya kesenjangan ekonomi yang semakin melebar.

“Laporan ini mengungkapkan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar di Indonesia dengan fokus pada peran korporasi besar yang semakin memperburuk situasi,” kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, Rabu (25/9).

Bhima menjelaskan, terdapat temuan yang menunjukan kekayaan 50 triliuner teratas di Indonesia setara dengan kekayaan rata-rata 50 juta orang di Indonesia. Total kekayaan ini juga setara dengan 2,45% anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN 2024 dan 4,11% dari target penerimaan pajak tahun ini.

Dia mengatakan, jika masing-masing dari lima orang terkaya membelanjakan Rp 2 miliar setiap hari, mereka akan membutuhkan waktu 630 tahun untuk menghabiskan seluruh kekayaan gabungan.

Bhima menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin tidak terdistribusi secara merata. Sejak 2020, Bhima mengatakan kekayaan tiga orang terkaya telah meningkat lebih dari tiga kali lipat, sementara pertumbuhan upah pekerja hanya sebesar 15%.

Laporan tersebut juga menyebutkan jumlah kekayaan 50 triliuner terkaya di Indonesia bisa membayarkan gaji seluruh pekerja penuh dalam angkatan kerja sepanjang tahun. “Ini adalah cerminan ketimpangan yang semakin menghambat mobilitas sosial,” ujar Bhima.

Korporasi Nikmati Keuntungan Selama Krisis

Direktur Keadilan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, menjelaskan perusahaan besar sering kali berhasil meraih keuntungan tinggi bahkan di tengah krisis ekonomi. Hal itu dilakukan dengan menggunakan berbagai strategi yang menguntungkan.

Media mengungkapkan, perusahaan-perusahaan raksasa punya uang lebih dari cukup untuk menyewa jasa konsultan perbankan dan perpajakan global. Hal itu dilakukan untuk memindahkan pendapatan mereka ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau negara-negara tax haven melalui struktur perusahaan yang rumit dan teknik transfer pricing yang canggih.

“Dengan cara ini, mereka dapat mengalihkan keuntungan dari negara-negara dengan pajak tinggi menuju tempat-tempat yang menawarkan beban pajak yang lebih ringan,” kata Media.

Sayangnya, pemerintah justru merespon aksi para kelas atas dengan skema pengampunan pajak dan menawarkan insentif untuk melaporkan kekayaan atau pendapatan yang belum tercatat dengan tarif pajak yang lebih rendah atau tanpa denda. Media menilai, korporasi besar ini diistimewakan dan mendapatkan memanfaatkan amnesti untuk membersihkan catatan pajak mereka tanpa harus membayar penalti yang berat.

“Ironisnya, insentif yang mulanya ditujukan untuk merangsang investasi sering kali hanya menguntungkan perusahaan besar. Alhasil, insentif hanya memperkuat dominasi perusahaan di pasar,” ujar Media.

Media juga menyebut pemerintah  gagal menerapkan kebijakan anti monopoli sehingga memberikan kesempatan bagi perusahaan besar untuk menguasai pasar, mengendalikan harga, dan menghambat pesaing-pesaing kecil. Dominasi ini memperkuat posisi perusahaan besar dan terus memungkinkan meraih keuntungan tinggi di tengah krisis

Reporter: Rahayu Subekti