Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklarifikasi soal kontribusi penerimaan pajak kelas menengah yang masih di bawah 1% dari total penerimaan pajak nasional.

Klarifikasi ini dilakukan setelah Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Muchamad Arifin memberi keterangan dalam acara Media Gathering Kemenkeu di Anyer, Banten, Kamis (26/7).

Kemudian Arifin mengklarifikasi pernyataannya pada hari ini. Dia menegaskan bahwa kontribusi penerimaan pajak tidak dikelompokkan ke dalam kontribusi kelas menengah dan nonkelas menengah.

Namun dikelompokkan dalam kelompok subyek Pajak PPh Orang Pribadi dan Subyek Pajak Badan serta per kelompok jenis pajak (PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 26, PPh Final, PPN Dalam Negeri, PPN Impor, PPn BM, PBB dan Lainnya.

Arifin bilang, kelas menengah termasuk dalam kelompok subyek pajak orang pribadi. Untuk orang pribadi, kontribusi pajak bisa dilihat secara langsung melalui dua cara pembayaran. 

"Pertama, dibayar orang pribadi melalui pembayaran sendiri (kelompok pajak PPh orang pribadi) dan kedua dipotong oleh pemberi kerja (PPh Pasal 21)," kata Arifin dalam keterangan resmi, Jumat (27/9).

Arifin memaparkan, total kontribusi PPh orang pribadi sebesar 15,7%, terdiri dari PPh Pasal 21 sebesar 14,7% dan PPh Orang Pribadi 1%. Dalam hal ini, pajak kelas menengah masuk dalam kontribusi pajak orang pribadi, di mana kontribusi wajib pajak orang pribadi terhadap total penerimaan nasional sebesar 15,7%.

Selain berkontribusi atas PPh, kelas menengah juga berkontribusi pembayaran pajak PPN dalam negeri, PPh Final, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan pajak lain melalui kepemilikan aset atau pembelian barang dan jasa.

Integrasi NIK, NPWP dengan Coretax

Sebelumnya, Arifin menyebut porsi penerimaan pajak kelas menengah tidak sampai 1%. Hal ini dia sampaikan saat Media Gathering Kemenkeu di Anyer, Banten, Kamis (26/7).

“Kelas menengah ini kan bicara individu. Pajak yang dibayarkan orang pribadi, jika ditotalkan secara nasional dibandingkan penerimaan total, nyaris tidak besar, sekitar 1%,” kata Arifin.

Fakta tersebut menunjukan penerimaan pajak secara total belum ideal jika Indonesia ingin menjadi negara maju. Sebab, pajak orang pribadi di negara maju memiliki porsi yang besar dan menjadi penopang penerimaan pajak negara.

Menurut Arifin, saat ini kebanyakan pajak pribadi berasal dari pelaku usaha UMKM, yang sebagian besar adalah sektor informal dan tidak masuk ke sistem perpajakan. “Sektor UMKM ini beda dengan badan usaha, yang harus tercatat dulu. UMKM relatif informal sehingga tidak masuk pada sistem kita,” ujar Arifin.

Untuk itu, pemerintah berusaha memadankan penggunaan Nomor Induk Kependudukan atau NIK sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang telah terlaksana sejak Juli 2024. Hal itu menjadi salah satu cara untuk melacak orang pribadi yang belum melaporkan kewajiban pajaknya.

Rencananya, pemadanan NIK dan NPWP akan terintegrasi dalam Coretax Sistem, sistem administrasi perpajakan yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka reformasi perpajakan di bidang teknologi informasi dan basis data

“Kalau nanti NIK bisa berjalan di 2025 awal dan Cortex juga, nanti data di situ tergabung, kelihatan si X dengan penghasilan sekian belum punya NPWP. Beda dengan karyawan karena pasti sudah dipotong,” kata Arifin.

Reporter: Rahayu Subekti