Bank Indonesia Sebut Ketidakpastian Ekonomi dan Keuangan Global Mulai Mereda
Bank Indonesia (BI) menilai ketidakpastian ekonomi dan keuangan global saat ini sudah mulai mereda. Padahal, ketidakpastian global pada dua tahun lalu masih tinggi.
Deputi Gubernur BI Juda Agung melihat kondisi itu dipicu oleh inflasi yang sangat tinggi di berbagai negara maju diikuti oleh kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed sejak Maret 2022. Namun kondisi ini sudah mereda.
“Alhamdulillah, saat ini ketidakpastian tersebut semakin mereda sejalan dengan pelonggaran inflasi di berbagai negara,” kata Juda dalam acara peluncuran Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) di Gedung BI, Rabu (2/10).
Meskipun begitu, Indonesia tidak boleh terlena dengan kondisi tersebut dan pemerintah tetap perlu mewaspadai ketidakpastian ekonomi global. “Ini harus kita respons dan harus kita persiapkan termasuk juga momentum pertumbuhan ekonomi yang harus kita jaga,” ujar Juda.
Dengan tantangan itu, Indonesia bisa memanfaatkan siklus keuangan global yang sudah mulai longgar, terutama pembiayaan yang bisa menyokong pertumbuhan ekonomi. “Karena di tahun-tahun ke depan tentunya kebutuhan akan pembiayaan ekonomi semakin meningkat,” kata Juda.
Juda menyebut dinamika ekonomi dan keuangan global dapat berkembang begitu cepat, termasuk risiko geopolitik yang saat ini masih berlangsung di Timur Tengah. Sebab, kondisi geopolitik di Timur Tengah akan selalu memiliki implikasi ekonomi.
Sebab, konflik geopolitik sangat bersinggungan dengan harga minyak dan rantai pasok global. “Tentu saja, ini risiko yang harus kita cermati dan kita coba dengan baik ke depan,” ujar Juda.
Prospek Ekonomi Global tetap Kuat
Dalam Buku Kajian Stabilitas Keuangan Nomor 43, disebutkan prospek pertumbuhan ekonomi global tetap kuat meski ketidakpastian global masih tinggi. Ekonomi global diproyeksikan tumbuh sesuai target sebesar 3,2% pada 2024.
Hal itu didorong oleh pertumbuhan ekonomi AS dan Eropa. Kinerja ekonomi AS tetap baik ditopang oleh konsumsi dan stimulus fiskal, sementara ekonomi Eropa tumbuh lebih tinggi didukung oleh perbaikan ekspor dan investasi.
Sementara pertumbuhan ekonomi negara-negara Emerging Market and Developing Economies atau EMDEs, khususnya Cina belum kuat dipengaruhi oleh lemahnya permintaan domestik. Proses penurunan inflasi global berlanjut terutama di negara maju.
Inflasi dunia pada Juni 2024 turun menjadi 6,5% secara tahunan dari level tertinggi sebesar 6,8% pada Mei 2024. Hal ini sejalan dengan mulai meredanya inflasi jasa dan pangan, meskipun masih dalam level tinggi dan di atas target bank sentral.
Sementara penurunan inflasi EMDEs terhambat akibat harga pangan yang masih tinggi dan nilai tukar yang melemah. Ketidakpastian pasar keuangan global dan ketegangan geopolitik belum mereda sehingga mengakibatkan aliran modal ke EMDEs relatif terbatas.
Imbal hasil obligasi global tenor jangka panjang, terutama US Treasury juga masih tinggi akibat kebutuhan defisit anggaran pemerintah AS. Berbagai kondisi tersebut memicu berlanjutnya tekanan capital outflows dari EMDEs termasuk Indonesia dan mendorong pelemahan nilai tukar rupiah.
Aliran modal keluar asing (capital outflow) merupakan keluarnya dana atau modal dari dalam negeri ke luar negeri baik secara langsung maupun secara tidak langsung.