Prabowo Butuh Rp 4.000 Triliun untuk Capai Pertumbuhan Ekonomi 8%, APBN Aman?
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo mengungkapkan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto perlu modal besar untuk mengerek pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Sementara anggaran belanja yang sudah dirancang pada tahun pertama pemerintahan Prabowo mencapai Rp 3.613 triliun.
“Yang disiapkan oleh Kementerian Keuangan untuk belanja negara Rp 3.600 triliun sekian, hitungan kami kalau untuk mengejar 8% nanti suatu saat, itu nggak cukup,” kata Drajad dalam acara Katadata Forum bertajuk Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (9/10).
Drajad memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2025 harus bisa mencapai 5,8% atau 5,9%. Capaian itu bisa menjadi batu loncatan untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 6%-7% dan selanjutnya bisa mencapai 8%.
Untuk itu, pemerintah butuh anggaran tambahan sebesar Rp 300 triliun untuk mencukupi belanja negara pada kisaran Rp 4.000 triliun. Namun untuk mencari tambahan anggaran tersebut bukan sesuatu yang mudah.
Sebab, 45% pendapatan negara akan digunakan untuk membayar utang pada 2025. Sementara pendapatan negara pada 2025 ditargetkan mencapai Rp 3.005,1 triliun yang berarti, sekitar Rp 1.353 triliun akan habis untuk membayar utang.
Selain itu, pemerintahan Prabowo juga akan mengotak-atik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk program makan bergizi gratis. Sehingga, Prabowo membuka opsi untuk menambah anggaran makan bergizi gratis melebihi Rp 71 triliun.
“Tapi, Pak Prabowo diberi kebebasan untuk melakukan APBN perubahan. Setelah kita tahu postur yang lebih rinci nanti di 2025, kita lakukan perubahan disesuaikan dengan situasi yang ada,” ujar Drajad.
Motif Dibalik Kebutuhan Anggaran Tambahan
Beban APBN dipastikan akan semakin besar dan berpotensi defisit. Sebab, Prabowo memiliki sejumlah program prioritas yang memakan banyak anggaran. Belum lagi, anggaran untuk membayar utang dan modal besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda melihat dua motif pemerintah meningkatkan anggaran belanja. Motif pertama terkait target pertumbuhan ekonomi 8% sudah yang sulit untuk dicapai.
Jika ingin dicapai, memang membutuhkan biaya besar. “Mereka pasti paham jika penerimaan negara sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja,” kata Huda kepada Katadata.co.id Kamis (10/10).
Secara logika, Indonesia tidak mungkin mendulang penerimaan negara secara signifikan. Selain itu, pemerintahan baru juga tidak bisa membiayai belanja negara sebesar Rp 4.000 triliun. “Jadi motifnya, mereka akan menyalahkan pemerintahan sekarang dalam membuat postur anggaran,” ujar Huda.
Motif kedua, TKN Prabowo-Gibran sedang mencari celah dan alasan untuk meningkatkan utang negara demi pembiayaan program politik. Alasan itu dilimpahkan kepada pemerintahan sekarang yang banyak menarik utang. Sehingga 45% APBN tahun depan untuk membayar utang.
Huda menyoroti, pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo yang mengincar Rp 300 juta dari pengemplang pajak untuk penerimaan negara. “Buktikan saja omongan Hashim benar atau tidak. Kalau benar, berani tidak menindak oknum tersebut. Jangan-jangan data tersebut, data ampas belaka,” kata Huda.
Oleha karena itu, jangan sampai alasan itu dibuat untuk menaikkan batas defisit APBN dan porsi utang terhadap produk domestik bruto (PDB). “Mereka sedang mencari celah mengakali dua hal tersebut,” ujar Huda.
Anggaran untuk Memenuhi Janji Politik
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyatakan, bahwa penambahan anggaran belanja bakal membebani APBN. Hal itu seakan-akan APBN sebagai wadah untuk memenuhi janji politik Prabowo saat kampanye.
“Tapi karena sudah janji politik sepertinya programnya pantang untuk dianulir,” kata Esther.
Jika ingin membuat program makan bergizi gratis optimal, hanya perlu membuat skema yang efisien. Kemudian program makan bergizi gratis dapat dibuat secara desentralisasi demi mengurangi biaya logistik dan bisa berdampak ganda atau multiplier effect terhadap UMKM.
“Ini akan ada multiplier effect-nya untuk UMKM. Bila UMKM diberi kesempatan untuk berpartisipasi tapi harus ada standarisasi gizi dan sehatnya. Jangan sampai habis makan sakit perut,” ujar Esther.
Dibanding menambah anggaran belanja, Esther menyarankan Prabowo agar mengalokasikan belanja negara untuk program prioritas dan mengurangi program lain yang tidak prioritas.
Selain itu, program peningkatan pendapatan juga bisa dilakukan. “Meningkatkan pendapatan bukan hanya dari pajak tapi nonpajak seperti dari devisa negara,” kata Esther.
Liputan khusus Arah Pemerintahan Baru ini didukung oleh: