Sri Mulyani Waspadai Era Suku Bunga Tinggi Belum Berakhir

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pemaparan saat konferensi pers APBN KiTa Edisi Agustus 2024 di Jakarta, Selasa (13/8/2024). Menteri Keuangan mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit Rp93,4 triliun atau 0,41 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per Juli 2024.
11/10/2024, 13.35 WIB

Federal Reserve atau The Fed sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 basis points (bps) menjadi 4,75-5,00%. Meskipun begitu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih tetap waspada dan belum tentu pemangkasan suku bunga The Fed menandakan berakhirnya era suku bunga tinggi.

Pendapat Sri Mulyani muncul saat menanggapi pernyataan Direktur Utama BNI Royke Tumilaar yang menyatakan era suku bunga tinggi sudah berakhir. “Pak Royke menyampaikan bahwa era suku bunga tinggi sudah berakhir. Padahal suku bunga di Amerika masih di level 5% sampai 4,75%. Belum turun dan hari ini bahkan bertahan tinggi,” kata Sri Mulyani saat menghadiri BNI Investor Summit, Selasa (8/11).

Sri Mulyani menjelaskan pemangkasan suku bunga The Fed belum cukup banyak jika melihat histori sebelumnya. Karena The Fed sebelumnya sudah menaikan suku bunga acuan hingga 500 bps.

"Kita tetap bisa terjaga dengan pertumbuhan yang baik. Itu menggambarkan bahwa resiliensi kita terjaga baik. Dan itu juga karena faktor seperti hilirisasi mendukung," kata dia. 

Meskipun begitu, ekonomi Indonesia tetap mampu bertumbuh di tengah kondisi global yang tidak menentu. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia sudah banyak menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari pandemi Covid-19, kondisi geopolitik, harga komoditas, kenaikan suku bunga, dan inflasi global yang terburuk dalam 40 tahun terakhir.

Tapi Indonesia bisa menjaga pertumbuhan serta anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tetap sehat. “Itu adalah sesuatu banget. Kalau lihat makro fiskal kita terjaga, itu bukan merupakan hasil yang otomatis. Memang seharusnya begitu,” kata Sri Mulyani.

Maka menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo, dia meminta stabilitas makro dan fiskal perlu dijaga dengan baik. Karena hal ini bisa menjadi modal bagi pemerintahan baru.

Sisi Positif Penurunan Suku Bunga The Fed

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pemangkasan suku bunga The Fed bisa menjadi sinyal era suku bunga tinggi mulai berakhir dan masuk fase suku bunga rendah.

Dengan begitu, ada sisi positif dari penurunan suku bunga The Fed. Salah satunya penurunan biaya pinjaman yang meringankan beban pelaku usaha, khususnya di sektor manufaktur. “Apalagi Bank Indonesia menyambut penurunan suku bunga The Fed dengan memangkas suku bunga 25 bps. Itu langkah yang tepat,” ujar Bhima.

Meskipun begitu, penurunan suku bunga The Fed secara historis merupakan sinyal ekonomi AS menuju resesi. Sebab, pada September 2007, suku bunga The Fed mulai dipangkas dari 5,25% menjadi 4,75% pada Oktober.

Hal ini menjadi sinyal awal resesi yang cukup parah karena subprime mortgage atau pinjaman bunga tinggi untuk nasabah dengan kredit rendah. Lalu pada 2020, The Fed Kembali memangkas suku bunga karena pandemi Covid-19.

Dengan begitu, setiap kali ada pemangkasan suku bunga The Fed, bukan menunjukkan negara berkembang diuntungkan karena limpahan investasi. “Ini karena investor cari imbal hasil tinggi,” kata Bhima.

Reporter: Rahayu Subekti