Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mewanti-wanti kabinet pemerintahan Prabowo Subianto agar tidak lagi menambah kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN. Sebab, pemerintah mempunyai kewajiban utang yang menggunung.
Ekonom senior Indef, Didin S Damanhuri menghitung kebocoran anggaran untuk membayar utang mencapai Rp 1.100 triliun dari target APBN pada 2024 mencapai Rp 2.802,3 triliun. Hal ini menjadi menjadi masalah krusial dalam perekonomian saat ini.
Menurut Didin, kebocoran anggaran tersebut membuat ruang manuver APBN menjadi sangat terbatas.“Oleh karena itu, kita harus kreatif, dan menghindari kebocoran yang ada, berdasarkan riset kami kebocoran APBN sekitar 40%,” kata Didin dalam diskusi publik Indef, Selasa (23/10).
Belum lagi, utang pemerintah sudah mencapai Rp 8.502,69 triliun pada 31 Juli 2024 . Ditambah lagi dengan persoalan deindustrialisasi, di mana hanya tersisa 18% saham industri dalam produk domestik bruto atau PDB.
Didin juga menyoroti daya beli kelas menengah sedang turun. Belum lagi jumlah kelas menengah yang terus menurun semenjak pandemi Covid-19. “Saya kira ini menjadi tantangan berat yang akan dihadapi Prabowo dengan kabinet yang gemuk,” ujar Didin.
Warisan Utang Jokowi untuk Prabowo
Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewariskan utang yang menumpuk pada periode Prabowo. Bahkan sebagian besar pendapatan negara yang sudah ditargetkan pada APBN 2025 akan digunakan untuk membayar utang.
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Drajad Wibowo mengatakan, pemerintah membutuhkan anggaran tambahan Rp 300 triliun untuk mencukupi belanja negara pada kisaran Rp 4.000 triliun. Namun untuk mencari tambahan anggaran tersebut bukan sesuatu yang mudah.
Sebab, 45% pendapatan negara akan digunakan untuk membayar utang pada 2025. Sementara pendapatan negara pada 2025 ditargetkan mencapai Rp 3.005,1 triliun, yang berarti sekitar Rp 1.353 triliun akan habis untuk membayar utang.
Untuk menambah kebutuhan APBN Rp 300 triliun, Prabowo akan mengejar pengemplang pajak. “Jadi kurang Rp 300 triliun dan kebetulan kita menemukan dari pajak-pajak yang tidak terkumpulkan dan sumber-sumber yang belum tergali. Jadi yang belum terkumpul itu belum tergali,” kata Drajad dalam acara Katadata Forum bertajuk Indonesia Future Policy Dialogue di Jakarta, Rabu (10/9).
Menurut Drajad, pajak yang belum dikumpulkan itu berasal dari kasus-kasus hukum yang para pengemplang pajak yang sudah dinyatakan kalah oleh pengadilan. Hanya saja, para pelaku belum juga menyetorkan kewajiban pajak ke negara.
"Jadi sudah tidak ada lagi peluang mereka, Mahkamah Agung sudah memutuskan selesai, tapi mereka tidak bayar. Ada yang 10 tahun belum bayar, ada yang 15 tahun belum bayar. Itu jumlahnya juga sangat besar," ujar Drajad.