Center of Economic and Law Studies atau Celios mengungkapkan sejumlah persoalan yang akan dihadapi Indonesia jika bergabung dengan BRICS. BRICS merupakan blok ekonomi yang beranggotakan negara-negara berkembang seperti Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan.
Sebelumnya, pemerintah sudah mendaftarkan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS. Hal itu disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri, Sugiono yang mewakili Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia.
Dengan pengumuman tersebut, maka proses Indonesia menjadi anggota BRICS telah dimulai. Indonesia juga memiliki langkah kongkret untuk bergabung dengan BRICS yang bertujuan untuk memperkuat kerja sama BRICS dan Global South.
Keikutsertaan Indonesia dalam BRICS juga mempunyai tiga tujuan lain. Pertama, menegakkan hak atas pembangunan berkelanjutan. “Negara-negara berkembang membutuhkan ruang kebijakan, sementara negara maju harus memenuhi komitmen mereka,” ujar Sugiono.
Kedua, mendukung reformasi sistem multilateral agar lebih inklusif, representatif, dan sesuai dengan realitas saat ini. Dengan begitu, institusi internasional harus diperkuat dan memiliki sumber daya yang memadai dalam memenuhi mandatnya.
Tujuan ketiga sebagai kekuatan persatuan dan solidaritas di antara negara-negara Global South. Karena BRICS dapat berfungsi sebagai perekat untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara berkembang.
"Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” kata Sugiono.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai ketertarikan Indonesia bergabung dengan BRICS belum pernah disampaikan secara eksplisit pada masa pemerintahan presiden Presiden Joko Widodo karena beberapa pertimbangan mulai dari kurangnya urgensi, perbedaan sistem politik, instabilitas hubungan antar negara anggota BRICS hingga upaya untuk mengimbangi hubungan Indonesia dengan negara barat.
"Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika politik di kepemimpinan yang baru ini telah menempatkan Indonesia pada posisi yang kurang strategis jika harus bergabung dengan aliansi BRICS," kata Bhima, Minggu (27/10).
Mempersempit Independensi Atas Pengaruh Cina
Bhima menilai pendaftaran Indonesia ke dalam keanggotaan BRICS akan semakin menegaskan ketergantungan Indonesia pada Cina. Hal itu berarti mempersempit independensi Indonesia terhadap pengaruh Cina.
“Padahal tanpa BRICS dari sisi investasi dan perdagangan Indonesia, porsi Cina sudah sangat besar. Impor Indonesia dari Cina melonjak 112,6% dalam sembilan tahun terakhir dari US$ 29,2 miliar pada 2015 menjadi US$ 62,1 miliar pada 2023," ujar Bhima.
Sementara investasi dari Cina melonjak 11 kali pada periode yang sama. Indonesia juga tercatat sebagai penerima pinjaman Belt and Road Initiative terbesar dibanding negara lainnya pada 2023.
Sehingga ada kekhawatiran terjadi duplikasi pada kerja sama bilateral dengan Cina. Selain itu juga proyek-proyek yang didanai pemerintah dan swasta Cina juga dapat menimbulkan berbagai persoalan terutama segi lingkungan hidup dan tenaga kerja di Indonesia.
Padahal Indonesia ingin meningkat nilai tambah komoditas secara berkualitas yang berarti harus selaras dengan investasi yang lebih berkualitas. Diversifikasi investasi bisa membantu Indonesia untuk naik kelas dan menjadi strategi utama.
Ketergantungan pada Cina juga membuat perekonomian lebih rapuh. "Di saat ekonomi Cina diproyeksikan menurun 3,4% dalam empat tahun ke depan berdasarkan World Economic Outlook IMF, muncul kekhawatiran dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS justru melemahkan kinerja perekonomian," ujar Bhima.
Direktur China-Indonesia Desk Celios, Muhammad Zulfikar Rakhmat juga menilai belum ada urgensi Indonesia untuk bergabung dengan BRICS. Mengingat, keberadaan Cina dalam grup tersebut dikhawatirkan memengaruhi independensi Indonesia dalam bersikap di berbagai isu krusial. "Salah satunya merespons manuver Cina di kawasan Laut Cina Selatan," kata Zulfikar.
BRICS Tak Menjawab Kebutuhan RI jadi Negara Maju
Peneliti Celios Yeta Purnama menilai rencana Indonesia bergabung dengan BRICS sebagai sesuatu yang bertentangan dengan visi misi Indonesia. Khususnya mengenai rencana untuk menjadi negara maju pada 2025.
Padahal untuk menuju menjadi negara maju, Indonesia tengah menjalani proses aksesi Organization for Economic Cooperation and Development atau OECD. Bahkan keputusan bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS juga akan berpotensi mempengaruhi aksesi Indonesia ke OECD.
"Peluang Indonesia untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan bermitra dengan grup tersebut akan semakin mengecil," ujar Yeta.
Dibandingkan BRICS, urgensi Indonesia untuk bergabung dengan OECD jauh lebih tinggi. Hal itu sejalan dengan upaya Indonesia menuju negara maju.
Apalagi, grup OECD memiliki anggota yang lebih besar sehingga dirasa lebih penting karena Indonesia perlu mendiversifikasi mitra yang lebih luas selain dari Cina.
Selain itu, energi dan fokus pemerintahan baru akan semakin berat terkait biaya keanggotaan yang mahal jika harus bergabung dalam banyak kerjasama multilateral. "Jauh lebih efektif fokus ke kemitraan yang sudah ada.” kata Yeta.