Hampir 6.700 Orang Teken Petisi Tolak PPN 12%, Waswas BBM dan Pengangguran Naik
Petisi menolak kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11% menjadi 12% pada 2025 masih terus bergulir. Penolakan itu disampaikan melalui platform Change.org dan sudah dibuat sejak 19 November 2024.
Berdasarkan pantauan Katadata.co.id hari ini, petisi tersebut kini sudah ditandatangani hingga 6.661 orang. Petisi tersebut menuliskan soal dampak kenaikan PPN akan memperdalam kesulitan masyarakat.
Sebab, masyarakat khawatir berbagai jenis kebutuhan mulai dari sabun mandi hingga bahan bakar minyak atau BBM akan mengalami kenaikan harga. Belum lagi, saat ini jumlah pengangguran di Indonesia juga naik.
Petisi itu menjabarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 bahwa angka tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,91 juta orang. Sebanyak 144,64 juta orang yang bekerja, namun sebagian besar atau 57,94% bekerja di sektor informal yang jumlah mencapai 83,83 juta orang.
Selain itu, petisi itu juga mengungkapkan kekhawatirkan atas dampak kenaikan PPN bisa membuat harga barang ikut naik dan pada akhirnya mempengaruhi daya beli. Jika PPN naik pada 2025, maka dikhawatirkan daya beli akan terjun bebas.
“Atas dasar itu, rasa-rasanya pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP. Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membasa dan menyebar ke mana-mana,” tulis petisi tersebut.
Penolakan Masyarakat Harus Disampaikan Secara Resmi
Komisi Informasi Pusat (KIP) mengimbau bagi masyarakat memiliki keluhan atau penolakan terhadap kebijakan pemerintah bisa disampaikan secara resmi. Komisioner KIP Rospita Vici Paulyn menyebutkan prosedur yang dapat dilakukan untuk menyampaikan penolakan terhadap pemerintah.
“Dia harus menyampaikan keluhan atau permohonan dulu kepada badan publik, dalam hal ini kalau pemerintah berarti melalui Sekretariat Negara,” kata Rospita di Kantor KIP, Jakarta, Senin (25/11).
Jika keluhan tidak direspons, masyarakat dapat mengadukan langsung ke KIP. Pengaduan dapat disampaikan secara tertulis dan resmi.
Hingga saat ini, belum ada pengaduan resmi yang masuk ke KIP berkaitan PPN 12%. Meskipun begitu, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR sudah meminta KIP untuk merespons setiap isu-isu yang berkaitan dengan banyak orang.
“Maka kami mencoba untuk merespon setiap persoalan yang terjadi di publik supaya pemerintah bisa mendengarkan suara dari masyarakat melalui Komisi Informasi,” ujar Rospita.
Rospita menambahkan, setiap pengaduan yang masuk harus memiliki masa respons dari badan publik atau Sekretariat Negara terlebih dahulu. Pengaduan baru bisa direspons oleh KIP setelah keluhan ini tidak ditanggapi Sekretariat Negara hingga 10 hari sejak pengajuan.