Rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada 2025 terus menuai penolakan. Bahkan jumlah orang yang menandatangani petisi penolakan kenaikan PPN melalui platform Change.org terus bertambah.
Berdasarkan pantauan Katadata.co.id pada Jumat (29/11), petisi yang dibuat sejak 19 November 2024 ini sudah diteken 15.184 orang. Masyarakat menandatangani petisi yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto agar segera membatalkan kenaikan PPN tersebut.
Petisi ini berisikan soal dampak kenaikan PPN akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab, masyarakat khawatir berbagai jenis kebutuhan mulai dari sabun mandi hingga bahan bakar minyak atau BBM akan mengalami kenaikan harga. Belum lagi, saat ini jumlah pengangguran di Indonesia juga naik.
Di dalam petisi itu juga menjabarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait angka tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,91 juta orang pada Agustus 2024. Sebanyak 144,64 juta orang yang bekerja, namun sebagian besar atau 57,94% bekerja di sektor informal yang jumlah mencapai 83,83 juta orang.
Selain itu, petisi itu juga mengungkapkan kekhawatirkan atas dampak kenaikan PPN bisa membuat harga barang ikut naik dan pada akhirnya memengaruhi daya beli. Jika PPN naik pada 2025, maka dikhawatirkan daya beli akan terjun bebas.
Atas dasar itu, masyarakat mendesak pemerintah agar membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias UU HPP. “Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana,” tulis petisi tersebut.
Beda Pandangan Luhut dan Airlangga Soal Penundaan PPN 12%
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto buka suara mengenai rencana penundaan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Rencana penundaan itu sempat disampaikan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan.
Berkaitan dengan itu, Airlangga menyatakan bahwa belum ada pembahasan penundaan kenaikan PPN menjadi 12% di pemerintahan. “Belum, belum, belum dibahas,” kata Airlangga di Istana Negara, Jakarta, Kamis (28/11).
Airlangga hanya menjelaskan bahwa kenaikan pajak tersebut sesuai dengan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP. Meski demikian, akan ada barang-barang yang tak terdampak kenaikan PPN menjadi 12%.
“PPN kan ada yang dikecualikan, terutama untuk bahan pokok, bahan penting dan termasuk pendidikan. Untuk yang lain tentu dilihat di UU saja,” ujar Airlangga.
Berbeda dengan Airlangga, Luhut justru memberi sinyal adanya penundaan kebijakan PPN 12% pada 2025. "Ya hampir pasti diundur," kata Luhut di Jakarta, Rabu (27/11).
Hal ini karena pemerintah berencana memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial (bansos) untuk kelas menengah. "PPN 12% sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah," kata Luhut.
Bansos tersebut diperlukan sebagai sebagai bantalan untuk meredam dampak PPN 12%. Rencananya, bansos tersebut diberikan bukan dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), tapi subsidi energi ketenagalistrikan.
"Tapi diberikan itu ke listrik. Karena kalau diberikan (BLT), nanti ke rakyat takut dijudikan lagi nanti," kata Luhut.
Ketika disinggung kembali mengenai kepastian waktu penerapan tarif PPN 12% pada 2025 Luhut mengatakan hal itu bergantung hasil rapat pemerintah mendatang. "Ya kita enggak tahu, nanti rapat masih ada berapa lama lagi kan," kata Luhut.