Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 berpotensi menggerus pemasukan masyarakat, terutama dari generasi Z. Kebijakan ini bisa membuat dompet anak-anak muda kelahiran 1995 hingga 2010 makin tipis.
Hal ini berdasarkan riset Center of Economic and Law Studies atau Celios yang menemukan adanya selisih kenaikan tarif PPN yang menyebabkan pengeluaran generasi Z bertambah.
“Gen Z harus membayar sekitar Rp 1,75 juta lebih mahal karena selisih kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025,” tulis riset Celios dikutip Jumat (29/11).
Perkiraaan ini dihitung dari setiap item yang menjadi pengeluaran generasi Z. Misalnya, pengeluaran kuota internet setelah kena pajak 12% meningkat dari Rp 95.700 menjadi Rp 104.400 per bulan yang berarti ada selisih Rp 8.700.
Tak hanya itu, tiket konser juga akan naik setelah PPN naik menjadi 12%. Dalam hitungan Celios, kenaikan tiket konser dari Rp 1,23 juta menjadi Rp 1,344 juta yang berarti ada selisih kenaikan sekitar Rp 112 ribu.
Dari 43 macam pengeluaran generasi Z setelah kenaikan PPN 12%, Celios menghitung ada selisih hingga sekitar Rp 1,75 juta per tahun.
Kenaikan pengeluaran ini cukup signifikan bagi generasi muda yang masih berada dalam tahap awal karier mereka. Dalam jangka waktu sebulan, kenaikan ini dapat memengaruhi anggaran pribadi mereka secara langsung.
“Meskipun angka ini terdengar relatif kecil dalam konteks pengeluaran bulanan yang lebih besar, bagi banyak Gen Z yang baru memulai hidup mandiri, ini bisa menjadi beban tambahan yang sulit dihindari,” tulis riset Celios.
Gen Z Harus Menyesuaikan Gaya Hidup
Dengan adanya tambahan pengeluaran sekitar Rp 1,75 juta per tahun, maka kemungkinan generasi muda harus menyesuaikan gaya hidup atau prioritas pengeluaran mereka.
Hal ini bisa berdampak pada keputusan mereka dalam hal konsumsi barang dan jasa, seperti mengurangi frekuensi berlangganan layanan streaming atau menghindari pengeluaran untuk hiburan yang tidak terlalu penting.
“Kenaikan pengeluaran ini juga mempengaruhi kemampuan menabung atau investasi bagi generasi Z. Dengan tambahan pengeluaran hampir Rp 1,75 juta, tabungan yang mereka kumpulkan akan berkurang,” tulis riset Celios.
Menurut Celios, kondisi tersebut bisa menjadi tantangan karena bagi sebagian besar generasi Z, menabung dan merencanakan masa depan finansial adalah hal yang penting.
"Kenaikan harga yang berkelanjutan dapat menyebabkan mereka merasa terjepit dalam mengatur keseimbangan antara pengeluaran sehari-hari dan tabungan," tulis Celios.
Jika pengeluaran terus meningkat dalam jangka panjang tanpa adanya peningkatan pendapatan yang signifikan, Gen Z berisiko mengalami kesulitan dalam merencanakan keuangan. Khususnya untuk tujuan jangka panjang, seperti membeli rumah atau mempersiapkan dana pensiun.
Daya Beli Gen Z Bisa Terguncang
Secara makro, kenaikan pengeluaran sebesar Rp 1,75 juta per tahun juga dapat memengaruhi daya beli generasi Z secara keseluruhan. Jika banyak dari mereka yang berpenghasilan terbatas atau baru memasuki dunia kerja, kemungkinan akan mengurangi pengeluaran untuk barang dan jasa yang dianggap tidak esensial.
“Jika terjadi pada skala yang lebih luas, bisa memengaruhi perekonomian secara keseluruhan, karena menurunnya daya beli bisa menyebabkan perlambatan dalam sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi, seperti ritel dan hiburan,” tulis riset Celios.
Celios menjelaskan, kenaikan biaya hidup yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan juga dapat memperburuk ketidaksetaraan sosial. Karena tidak semua generasi Z memiliki akses yang sama terhadap pekerjaan atau peluang ekonomi yang baik.